Selasa, 16 September 2014

SISTEM SEWA TANAH (LAND RENTE)

Tidak lama setelah kepergian gubenur jenderal Daendeles dari Indonesia, Jawa diduduki oleh inggris dalam tahun 1811. Zaman pendudukan inggris ini hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara 1811 dan 1816, akan tetapi selama waktu itu telah diletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari kolonial inggris.
            Azas-azas pemerintahan sementara inggris ini di tentukan oleh Letnan Gubenur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di India. Pada hakekatnya, raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonnomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan Kompeni Belanda (VOC) dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati. Secara kongkrit Raffles ingin menghapus segala penyerahan wajib dan pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu dibebankan kepada rakyat , khususnya petani. Kepada para petani ini Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha.
            Jelaslah kiranya bahwa Raffles dalam hal ini telah dipengaruhi oleh cita-cita Revolusi Prancis dengan semboyan mengenai "kebebasan, persamaan dan persaudaraan"bagi setiap warga, walaupun ia tentu menyadari pula dalam konstelasi keadaan yang berlaku di Jawa, tidak dapat sepenuhnya mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam hal ini pandangan Raffles dalam banyak hal sama dengan pandangan seorang pejabat Belanda dari akhir zaman VOC yang bernama Dirk Van Hogendrop. Van hogendrop ini telah menarik kesimpulan dari pengamatanya di Indonesia bahwa system feodal yang terdapat di Indonesia pada waktu itu dan yang telah berhasil dimanfaatkan oleh VOC mematikan segala daya usaha rakyat Indonesia. Oleh karena itu ia menganjurkan agar kekuasaan, khususnya hak kuasa tanah para bupati atas rakyat, dibatasi. Seperti diketahui, untuk mencapai tujuannya dalam memperoleh hasil-hasil bumi Indonesia, VOC telah mempergunakan raja-raja dan para bupati sebagai alat dalam kebijaksanaan dagangnya. Sebagai penganti sistem paksa yang berlaku hingga waktu itu, Van hogendorp menganjurkan agar para petani diberikan kebebasan penuh dalam menentukan tanaman-tanaman apa yang hendak di tanam mereka maupun dalam menentukan bagaimana hasil panen mereka hendak dipergunakan. Di bawah system VOC kebebasan seperti itu tidak ada.
            Raffles sendiri menentang system VOC karena keyakinan-keyakinan politiknya, yang sekarang dapat disebut liberal, maupun karena berpendapat bahwa system ekploitasi seperti yang telah dipraktekkan oleh VOC tidak menguntungkan. Apa yang dikehendaki untuk mengantikan system VOC adalah suatu system pertanian dimana para petani atas kehendak sendiri menanam tanaman dagangan(cash crops) yang dapat di ekspor ke luar negeri. Dalam hal ini pemerintah kolonial hanya mewajibkan untuk menciptakan segala pasarn yang diperlukan guna merangsang para petani untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang paling menguntungkan.
            Dalam usaha untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru, Raffles ingin berpatokan pada tiga azas. Pertama, segala bentuk penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu di hapuskan dan kebebasan penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang hendak ditanam tanpa unsur paksaan juga.  Kedua, peranan para bupati sebagai pemungut pajak di hapuskan dan sebagai pengantinya mereka dijadikan bagian intekral dari pemerintahan kolonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan di negeri Barat. Secara konkret hal ini berarti bahwa para bupati dan kepala-kepala pemerintahan pada tingkat rendahan harus memusatkan perhatiannya kepada proyek-proyek pekerjaan umum yang dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang mengarap tanah dianggap penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk menyewa tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (land-rent) atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah ini selanjutnya yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintah inggris di bawah raffles dan kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun 1830.
            System sewa tanah yang kemudian dikenal dengan nama land lijk stelsel bukan saja diharapkan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada para petani merangsang juga arus pendapatan Negara yang mantap.
            Pelaksanaan system sewa tanah mengandung konsekwensi-konsekwensi yang jauh sekali atas hubungan antar pemerintahan kolonial di satu pihak dan rakyat Indonesia dengan penguasa-penguasanya di lain pihak. Perubahan yang dipertimbangkan itu malahan dapat dikatakan Revolisioner, karena mengandung perubahan azasi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas rakyat dan digantikannya dengan suatu system dimana hubungan ekonomi antara pemerintah di satu pihak dan rakyat di lain pihak didasarkan atas kontrak yang di adakan secara sukarela oleh kedua belah pihak. Jadi perubahan ini pada dasarnya bukan merupakan perubahan ekonomi semata-mata, tetapi lebih penting lagi, yaitu merupakan suatu perubahan sosial-budaya yang mengantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal. Dengan demikian maka dasar kehidupan masyarakat jawa yang tradisional hendak digantikan dengan dasar kehidupan masyarakat seperti yang dikenal di Negara-negara Barat. Demikian pula ekonomi masyarakat jawa yang tradisional dan feudal itu hendak digantikan dengan system ekonomi yang didasarkan atas lalulintas pertukaran yang bebas.
            System sewa tanah tidak meliputi seluruh pulau jawa. Misalnya, didaerah-daerah sekitar Jakarta, pada waktu itu Batavia, maupun di daerah-daerah Parahiangan system sewa tanah tidak di tiadakan, karena daerah-daerah sekitar Jakarta pada umumnya adalah milik swasta, sedangkan di daerah Parahiangan pemerintah kolonial berkeberatan untuk menghapus system tanam paksa kopi yang member keuntungan besar. Jelaslah kiranya bahwa pemerintah kolonial tidak bersedia untuk menerapkan azas-azas liberal secara konsisten jika hal ini mengandung kerugian material yang besar. Oleh karena itu didaerah Parahiangan tidak pernah mengenal suatu fase menengah yang agak bebas diantara dua masa yang dicirikan oleh unsur paksaan dalam kehidupan ekonomi, seperti telah dikenal oleh daerah-daerah lain di Jawa,melainkan daerah ini terus menerus hanya mengenal system tradisional dan feodal sampai pada tahun 1870.
            Mengigat bahwa raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di Jawa, yaitu lima tahun, dan mengingat pula terbatasnya pegawai-pegawai yang cukup dan dana-dana keuangan tidak mengherankan bahwa Raffles akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang bertalian dengan system sewa tanah itu. Meskipun demikian gagasan-gagasan Raffles mengenai kebijaksanaan ekonomi kolonial yang baru, terutama yang bertalian dengan sewa tanah, telah sangat mempengaruhi pandangan dari pejabat-pejabat pemerintahan Belanda yang dalam tahun 1826 mengambil alih kembali kekuasaan politik atas pulau Jawa dari pemerintahan inggris.
            Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kebijakansanaan Raffles pada umumnya di teruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru, pertama-tama di bawah Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van den Capellen (1816-1819), dan kemudian dibawah Gubernur Jenderal Van den Capelle (1819-1826) dan Komisaris Jenderal du Bus de Gisignes (1826-1830). System sewa tanah baru di hapuskan dengan kedatangan seorang gubernur jenderal yang baru, Van den Bosch, dalam tahun 1830 yang kemudian menhidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman tanaman dagang dalam bentuk yang lebih keras dan efisien dari pada dibawah VOC. Pelaksanan system sewa tanah mengandung tiga aspek yaitu: pertama penyelengaraan suatu system pemerintah atas dasar-dasar modern, kedua pelaksanaan pemungutan sewa, ketiga penanaman tanaman dagang untuk dieksport.
DAFTAR PUSTAKA
·         Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah nasional Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 1993.
·         www.sistem-sewa-tanah-masa-kolonial.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar