Tidak
lama setelah kepergian gubenur jenderal Daendeles dari Indonesia, Jawa
diduduki oleh inggris dalam tahun 1811. Zaman pendudukan inggris ini
hanya berlangsung selama lima tahun, yaitu antara 1811 dan 1816, akan
tetapi selama waktu itu telah diletakkan dasar-dasar kebijakan ekonomi
yang sangat mempengaruhi sifat dan arah kebijakan pemerintah kolonial
Belanda yang dalam tahun 1816 mengambil alih kembali kekuasaan dari
kolonial inggris.
Azas-azas pemerintahan sementara inggris ini di tentukan oleh Letnan
Gubenur Raffles, yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman Inggris di
India. Pada hakekatnya, raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonnomi
di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada
sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan Kompeni
Belanda (VOC) dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.
Secara kongkrit Raffles ingin menghapus segala penyerahan wajib dan
pekerjaan rodi yang selama zaman VOC selalu dibebankan kepada rakyat ,
khususnya petani. Kepada para petani ini Raffles ingin memberikan
kepastian hukum dan kebebasan berusaha.
Jelaslah kiranya bahwa Raffles dalam hal ini telah dipengaruhi oleh
cita-cita Revolusi Prancis dengan semboyan mengenai "kebebasan,
persamaan dan persaudaraan"bagi setiap warga, walaupun ia tentu
menyadari pula dalam konstelasi keadaan yang berlaku di Jawa, tidak
dapat sepenuhnya mewujudkan cita-cita tersebut. Dalam hal ini pandangan
Raffles dalam banyak hal sama dengan pandangan seorang pejabat Belanda
dari akhir zaman VOC yang bernama Dirk Van Hogendrop. Van hogendrop
ini telah menarik kesimpulan dari pengamatanya di Indonesia bahwa
system feodal yang terdapat di Indonesia pada waktu itu dan yang telah
berhasil dimanfaatkan oleh VOC mematikan segala daya usaha rakyat
Indonesia. Oleh karena itu ia menganjurkan agar kekuasaan, khususnya
hak kuasa tanah para bupati atas rakyat, dibatasi. Seperti diketahui,
untuk mencapai tujuannya dalam memperoleh hasil-hasil bumi Indonesia,
VOC telah mempergunakan raja-raja dan para bupati sebagai alat dalam
kebijaksanaan dagangnya. Sebagai penganti sistem paksa yang berlaku
hingga waktu itu, Van hogendorp menganjurkan agar para petani diberikan
kebebasan penuh dalam menentukan tanaman-tanaman apa yang hendak di
tanam mereka maupun dalam menentukan bagaimana hasil panen mereka
hendak dipergunakan. Di bawah system VOC kebebasan seperti itu tidak
ada.
Raffles sendiri menentang system VOC karena keyakinan-keyakinan
politiknya, yang sekarang dapat disebut liberal, maupun karena
berpendapat bahwa system ekploitasi seperti yang telah dipraktekkan
oleh VOC tidak menguntungkan. Apa yang dikehendaki untuk mengantikan
system VOC adalah suatu system pertanian dimana para petani atas
kehendak sendiri menanam tanaman dagangan(cash crops) yang dapat
di ekspor ke luar negeri. Dalam hal ini pemerintah kolonial hanya
mewajibkan untuk menciptakan segala pasarn yang diperlukan guna
merangsang para petani untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang paling
menguntungkan.
Dalam usaha untuk menegakkan suatu kebijaksanaan kolonial yang baru,
Raffles ingin berpatokan pada tiga azas. Pertama, segala bentuk
penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu di hapuskan dan kebebasan
penuh diberikan kepada rakyat untuk menentukan jenis tanaman apa yang
hendak ditanam tanpa unsur paksaan juga. Kedua, peranan para bupati
sebagai pemungut pajak di hapuskan dan sebagai pengantinya mereka
dijadikan bagian intekral dari pemerintahan kolonial dengan
fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan azas-azas pemerintahan di
negeri Barat. Secara konkret hal ini berarti bahwa para bupati dan
kepala-kepala pemerintahan pada tingkat rendahan harus memusatkan
perhatiannya kepada proyek-proyek pekerjaan umum yang dapat
meningkatkan kesejahteraan penduduk. Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa
pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka para petani yang
mengarap tanah dianggap penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk menyewa tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (land-rent)
atau pajak atas pemakaian tanah pemerintah. Sewa tanah ini selanjutnya
yang dijadikan dasar kebijaksanaan ekonomi pemerintah inggris di bawah
raffles dan kemudian dari pemerintah Belanda sampai tahun 1830.
System sewa tanah yang kemudian dikenal dengan nama land lijk stelsel bukan
saja diharapkan dapat memberikan kebebasan dan kepastian hukum kepada
para petani merangsang juga arus pendapatan Negara yang mantap.
Pelaksanaan system sewa tanah mengandung konsekwensi-konsekwensi yang
jauh sekali atas hubungan antar pemerintahan kolonial di satu pihak dan
rakyat Indonesia dengan penguasa-penguasanya di lain pihak. Perubahan
yang dipertimbangkan itu malahan dapat dikatakan Revolisioner, karena
mengandung perubahan azasi, yaitu dihilangkannya unsur paksaan atas
rakyat dan digantikannya dengan suatu system dimana hubungan ekonomi
antara pemerintah di satu pihak dan rakyat di lain pihak didasarkan
atas kontrak yang di adakan secara sukarela oleh kedua belah pihak.
Jadi perubahan ini pada dasarnya bukan merupakan perubahan ekonomi
semata-mata, tetapi lebih penting lagi, yaitu merupakan suatu perubahan
sosial-budaya yang mengantikan ikatan-ikatan adat yang tradisional
dengan ikatan kontrak yang belum pernah dikenal. Dengan demikian maka
dasar kehidupan masyarakat jawa yang tradisional hendak digantikan
dengan dasar kehidupan masyarakat seperti yang dikenal di Negara-negara
Barat. Demikian pula ekonomi masyarakat jawa yang tradisional dan
feudal itu hendak digantikan dengan system ekonomi yang didasarkan atas
lalulintas pertukaran yang bebas.
System sewa tanah tidak meliputi seluruh pulau jawa. Misalnya,
didaerah-daerah sekitar Jakarta, pada waktu itu Batavia, maupun di
daerah-daerah Parahiangan system sewa tanah tidak di tiadakan, karena
daerah-daerah sekitar Jakarta pada umumnya adalah milik swasta,
sedangkan di daerah Parahiangan pemerintah kolonial berkeberatan untuk
menghapus system tanam paksa kopi yang member keuntungan besar. Jelaslah
kiranya bahwa pemerintah kolonial tidak bersedia untuk menerapkan
azas-azas liberal secara konsisten jika hal ini mengandung kerugian
material yang besar. Oleh karena itu didaerah Parahiangan tidak pernah
mengenal suatu fase menengah yang agak bebas diantara dua masa yang
dicirikan oleh unsur paksaan dalam kehidupan ekonomi, seperti telah
dikenal oleh daerah-daerah lain di Jawa,melainkan daerah ini terus
menerus hanya mengenal system tradisional dan feodal sampai pada tahun
1870.
Mengigat bahwa raffles hanya berkuasa untuk waktu yang singkat di
Jawa, yaitu lima tahun, dan mengingat pula terbatasnya pegawai-pegawai
yang cukup dan dana-dana keuangan tidak mengherankan bahwa Raffles
akhirnya tidak sanggup melaksanakan segala peraturan yang bertalian
dengan system sewa tanah itu. Meskipun demikian gagasan-gagasan Raffles
mengenai kebijaksanaan ekonomi kolonial yang baru, terutama yang
bertalian dengan sewa tanah, telah sangat mempengaruhi pandangan dari
pejabat-pejabat pemerintahan Belanda yang dalam tahun 1826 mengambil
alih kembali kekuasaan politik atas pulau Jawa dari pemerintahan
inggris.
Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kebijakansanaan Raffles pada
umumnya di teruskan oleh pemerintahan kolonial Belanda yang baru,
pertama-tama di bawah Komisaris Jenderal Elout, Buyskes, dan Van den
Capellen (1816-1819), dan kemudian dibawah Gubernur Jenderal Van den
Capelle (1819-1826) dan Komisaris Jenderal du Bus de Gisignes
(1826-1830). System sewa tanah baru di hapuskan dengan kedatangan
seorang gubernur jenderal yang baru, Van den Bosch, dalam tahun 1830
yang kemudian menhidupkan kembali unsur-unsur paksaan dalam penanaman
tanaman dagang dalam bentuk yang lebih keras dan efisien dari pada
dibawah VOC. Pelaksanan system sewa tanah mengandung tiga aspek yaitu:
pertama penyelengaraan suatu system pemerintah atas dasar-dasar modern,
kedua pelaksanaan pemungutan sewa, ketiga penanaman tanaman dagang
untuk dieksport.
DAFTAR PUSTAKA
· Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah nasional Indonesia, Jakarta :Balai Pustaka, 1993.
· www.sistem-sewa-tanah-masa-kolonial.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar