1. Puncak kekuasaan voc dan keruntuhannya
Tahun
1755 & 1800 disebut sepi ordonansi voc yang memilah-milah
masyarakat yang di kuasainya. Sedikit ordonansi yang di keluarkan pada
masa ini justru di warnai dengan pembubaran kelompok-kelompok yang
pernah di bentuk. Pembubaran itu sejalan dengan semakin nyatanya bentuk
suatu gabungan baru, yaitu bumi putra (in landers), yang merupakan
hasil pembauran anggota berbagai kelompok yang pernah di buat. Ke dalam
gabungan ini masuk juga kelompok peranakan China, segera setelah di
pilah dari golongan China totok. (dalam Christina M. Udiani. 2006: 64).
Pada
tahun 1602 usaha mempersatukan para pedagang Belanda mulai terwujud
dengan di bentuknya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang
terbentuk atas prakarsa dari Johan van Oldenbarneveld.
Kerjasama pedagang-pedagang VOC ini di anggap penting karena alasan-alasan berikut:
1. Secara
bersama-sama di perlukan adanya suatu kekuatan untuk menghadapi
kekuasaan Spanyol dan Portugis. VOC dapat di pergunakan sebagai alat
organisasi pemerintah Belanda dalam rangka menghadapi peperangan melawan
ke dua bangsa tersebut, terutama Portugis.
2. Perjalanan
yang jauh dan penuh resiko dalam pelayaran dapat di peringan dengan
kerjasama di antara mereka. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pada
tahun-tahun pertama ekspedisi di laksanakan, seperenam dari kapal-kapal
yang berangkat dari negeri Belanda tidak pernah kembali ke negeri
Belanda. Banyak kapal-kapal yang nyasar ke perairan Australia.
3. Untuk
dapat mempertahankan diri di Asia, maka mereka harus memegang monopoli
perdagangan. Usaha untuk mencapai hal itu hanya akan berhasil apbila
mereka memiliki kekuatan bersaing yang tinggi melalui persekutuan
dagang.
Bagi
para pendiri VOC (kebanyakan pendirinya adalah bekas anggota-anggota
Compagnie van Verre), tujuan utamabergabungnya mereka dalam VOC adalah
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu
secepat-cepatnya.
Di
wilayah Indonesia, VOC harus berjuang melawan pedagang-pedagang
Portugis dan Spanyol. Beberapa kantor dagang (factory) di gunakan juga
sebagai benteng pertahanan, seperti misalnya yang ada di Banten dan
Jakarta. Kantor-kantor dagang di lengkapi dengan kapal-kapal dagang yang
akanmenuju ke Hindia (Dunia Timur) dan menjual barang-barang yang di
terima dari dunia Timur. (dalam Maliha Aziz dan Asril, 2006: 26-29).
A. Puncak Kekuasaan VOC & Tonggak-Tonggaknya
Dalam
periode itu, voc sedang berada pada puncak kekuasaannya sebagai Negara.
Kerajaan-kerajaan local tidak hanya di ungguli, tapi sudah merosot jadi
sekedar pelayan kepentingannya. jalur armada dagangnya dari
Maluku-Amsterdam lewat tanjung Harapan sangat terjamin keamanannya.
Kenyataannya itu telah sangat jauh melampaui syarat-syarat pelayaran
bebas, cita-cita agung yang merupakan tenaga pengerak utama Belanda untuk mematahkan hegemoni Portugis dan Spanyol sejak akhir abad ke-16.
Namun
demikian, dalam periode inilah voc runtuh sebagai suatu lembaga
perusahaan, sejalan dengan kekuasaan kenegaranya yang semakin kokoh itu,
makin keropos pulalah bangunan usahanya di makan oleh korupsi,
penyalahgunaan jabatan, & nafsu kemewahan. Pada penutupan abad ke-18
tersebut, voc tak mungkin lagi bertahan, lalu dinyatakan bangkrut. Dan
jumlah utang lebih dari pada 20 kali modal kerjanya.
Bukan
suatu kebetulan bahwa ketiga proses itu terjadi pada masa yang
bersamaan. Ketiganya merupakan pantulan yang berbeda bagaimana
tonggak-tonggak monopoli voc dibangun. Suatu monopoli berhasil hanya
setelah semua kekuatan disekitarnya tunduk tergantung pada
tonggak-tonggak itu, inilah puncak kekuasaan.
Pada
saat yang sama, biaya untuk mempertahankan ketaklukan dan
ketergantungan tersebut tidak boleh tidak ditanggung seluruhnya oleh
pemegang monopoli. Sedikit saja pemegang monopoli lengah dalam hal itu,
kekuatan sekitar akan tumbuh dengan kemungkinan-kemungkinan sendiri.
Berbaurnya masyarakat yang tadinya dipilah-pilah agar mudah di kuasai
adalah satu di antara kemungkinan itu. Korupsi dan penyalahgunaan
jabatan yang merajalela merupakan kemungkinan lain. (dalam Christina M. Udiani. 2006: 65).
B. Voc Menjadi Milik Raja Nederland
Beberapa tonggak besar yang menjadi tiang kejayaan VOC itu ditancapkan di Belanda. Sampai
1749, anggota pengurus VOC di Belanda (de bewindhebbers), yang lebih di
kenal dengande Heeren XVII, di pilih oleh parlemen (staten) Provinsi
pemegang saham, kecuali di Provinsi Holland. Di sana anggota di pilih
oleh walikota (burgemeester) tempat kamar dagang pemegang saham
bermarkas.
Sejak
27 Maret 1749, hal itu berubah secara mendasar. Hari itu Parlemen
Belanda (Staten Generaal) mengeluarkan UU yang menjadikan Raja Willem IV
sebagai penguasa tertinggi VOC . hak memilih anggota de Heeren XVII di
serahkan ketangannya, dan selain itu ia juga menjadi panglima tertinggi
tentara VOC. Kendati di maksudkan untuk menjamin stabilitas kepengurusan
VOC, perubahan ini telah menimbulkan persekutuan erat antara usaha
dagang dan pengusaha Negara Belanda sendiri. Dengan demikian, VOC dan
Negara Belanda bergabung di bawah suatu kekuasaan yang bersifat
oligarki.
Ketika
mandat VOC (octrooi) yang ke dua yang di berikan tahun 1622,
pertanggungjawaban keuangan sudah tidak lagi berada ditangan seluruh
peegang saham, tetapi hanya pada 17 orang di antaranya. Mereka di angkat
dari kalangan pemegang saham kepala (hoofdparticipanten) yang di sumpah
bersama dua anggota parlemen.
Seluruh
pemegang saham mengharapkan mereka akan mengungkapkan keadaan keuangan
VOC selama 20 tahun beroperasi. Sejak 13 Maret 1623, pertanggungjawaban
makin susah diminta karena hoofdparticipanten yang di sumpah itu lansung
di tentukan oleh pengurus. Di samping itu, mereka sendiri diam-diam
berambisi menjadi pengurus, lalu melupakan kepentingan pemegang saham.
Pada tahun 1647, ketika di umumkan mandat VOC yang ketiga, pertanggungjawaban itu diberikan tidak lagi pada hoofdparticipanten,
tapi kepada kedelapan komisaris yang di ajukan oleh pemegang saham dan
parlemen. Imbalan kepada pengurus pun berubah, tidak lagi mendapat bonus
satu persen dari omset perdangangan VOC setelah di kurangi biaya
transfortasi, maka kemudian mereka di beri gaji tetap. Akibatnya,
hilanglah sifat jabatan partikelir suatu perseroan, dan sebagai gantinya
timbul sifat jabatan pemerintahan Negara.
Selama
dividen di bagikan setiap kaum (12 persen) dan gaji memuaskan pengurus,
tidak ada protes selama ratusan tahun. Semua informasi mengenai VOC di
Hindia-Belanda merupakan rahasia. Kalau melihat arsip, pengurus harus
mendapat izin lebih dulu. Karyawan VOC tidak boleh menyimpan dokumen dan
peta Nusantara, serta mengungkapkan urusan pekerjaannya kepada
siapapun, kecuali kepada de Heeren XVII. Surat-menyurat karyawan dengan
keluarganya di Belanda di sensor.
Selama
puluhan tahun terjadi, untuk membayar dividen, VOC tinggal meminjam
uang dari bank-bank di Amsterdam. Untuk itu pemerintah mengeluarkan
obligasi atas nama VOC. Pembayaran di lakukan apabila keuntungan
meningkat, sehingga praktis VOC harus selalu gali lubang tutup lubang.
Keadaan
ini tidak sampai ketahuan terutama karena tiga alasan, pertama, tiap
kamar dagang berurusan sendiri –sendiri dengan pemimpin VOC. Belum
pernah semua kamar dagang bersama-sama memeriksa keadaan. Kedua, laporan
keuangan VOC kepada parlemen pun selalu berupa laporan kas, bikan
laporan neraca. Ketiga, selain kas masih dapat di pertahankan dengan
pinjaman, pemegang obligasi sering tidak mengambil uang setelah jatuh
tempo. Tetapi menyimpannya terus di kas VOC.
Pada
tahun 1673, keuntungan sempat merosot, sehingga VOC tidak mampu
membayar dividen. Hanya provinsi Holland dan Zeeland yang bisa menolong.
Sejak itu, VOC tak mungkin lagi meminjam uang dengan cara tersebut.
Satu-satunya sumber yang mungkin adalah anticipatiepenningen. Ini
semacam uang panjar dari pedagang yang mengharapkan bungga dan hak
membeli rempah-rempah langsung dari lelang VOC.
Pecah
perang dengan Inggrispada tahun 1778, dan semua kantor VOC di pantai
India di rebut. Tiga tahun lamanya VOC tidak bisa mengirim rempah-rempah
ke Belanda. Pada 6 Februari 1781, pemegang anticipatiepenningen
menuntut pembayaran, dan VOC tak mampu membayar. Tak bisa lain, pada
saat itu terungkaplah keadaan VOC yang sebenarnya. (dalam Christina M. Udiani. 2006: 69).
C. Hampir Mutlaknya Kekuasaan Batavia
Salah satu kesukaan gubernur jendral
itu adalah memangku jabatan sampai mati. Ini sudah terjadi sejak
Antonio Van Diemen (1636-1645) sampai VOC bangkrut, kecuali Joan van
Hoorn (1704-1709), Diederik Durven (1729-1732), dan Adriaan Valckenier
(1737-1741). Bila seorang gubernur jenderal mati, penggantinya selalu
anggota Dewan Hindia (Raad van Indie) yang paling lama berdinas.
Artinya, yang menjadi gubernur jenderal adalah mereka yang telah hamper
habis di makan usia dan sarat dengan vested interests.
Di
bawah kedua jabatan tersebut ada semacam coordinator kepala, seperti
halnya di Padang, Desima, Mokha, Banten, dan Cirebon. Di samping itu,
ada residen, pejabat yang memelihara kepentingan VOC di wilayah kerajaan
di Jawa. Residen masih membawahkan Dewan kepolisian yang terdiri dari
berbagai pegawai tinggi di daerahnya. Karena berhak memilih directeur
atau opperhoofd, baik residenmaupun pegawai tingginya sama berharap
suatu kali akanmenggantikan pejabat di atasnya. (dalam Christina M. Udiani. 2006: 71).
D. Puncak kekuasaan VOC dan Korupsi
Gubernur
Jendral Van Hoorn konon menumpuk harta 10 juta gulden ketika kembali ke
Belanda pada 1709, padahal gaji resminya hanya sekitar 700 gulden
sebulan. Gubernur Maluku menumpuk 20-30 ribu gulden hanya dalam 4-5
tahun, sementara gajinya sekitar 150 gulden sebulan. Demikian besar
kemungkinan melakukan korupsi tanpa pernah di hukum sehingga untuk
menjadi karyawan VOC orang rela menyogok. Terungkap, pengurus VOC di
Belanda memasang tariff sogok selama 1719-1723 sebesar f3.500 bagi yang
ingin menjadi onderkoopman (gaji resmi f40 perbulan atau f 480
pertahun);f 2000 untuk menjadi kapitein, dan f 120 untuk menjadi kopral.
Bandingkan pula dengan kenyataan, dari "1900 karyawan pada 1720, Cuma
30 orang yang bergaji resmi f 1.200 setahun".
Pada
abad ke-18, cara korupsi berubah dari sebelumnya, dari uang kas dan
anggaran VOC di korupsi menjadi pemerasan terhadap penduduk. Penduduk di
paksa menyerahkan upeti. Bukan tidak ada tindakan yang di ambil untuk
mencegah korupsi, namun tindakan yang di lakukan hanya sia-sia saja,
seperti harta pejabat dari Hindia-Belanda wajib di setor ke kas VOC, dan
ketika pulang ke Belanda mereka mendapat surat kuasa penukarannya di
Belanda. Aturan itu di turuti, tapi hanya untuk sebagian harta, sebagian
yang lain tetap di bawa pulang dengan menyogok kapten kapal dengan
memberikan emas, intan dan berlian.
Pada
tahun 1743-1750, Van Inhoff di angkat menjadi gubernur jenderal. Ia di
perintahkan untuk mencegah korupsi. Ternyata iapin Cuma bisa melegalisir
sebagian korupsi agar bisa memberantas sisanya. Misalnya, ia
menyerahkan perdagangan candu kepada Amfioen-sociteit yang merupakan
koperasi karyawan. Dengan demikian, di harapkan karyawan terdorong untuk
memberantas perdagangan candu gelap. Hasilnya, perdagangan pencandu
tetap jalan. Terutama sejak masa Mossel (1750-1760), perdagangan candu
gelap makin memuncak sampai VOC di nyatakan bangkrut. (dalam Christina M. Udiani. 2006: 75).
E. Puncak Kekuasaan VOC dan Keruntuhannya
Sebagai
kekuasaan dagang, VOC tidak bisa lagi menutupi parahnya keadaan
keuangannya. Setelah pemegang anticipatiepenningenpanik pada 6 Februari
1781, pemerintah Belanda segera turun tangan. Pinjaman baru di berikan
lewat penerbitan obligasi, sehingga VOC memiliki utang sebesar 55 juta
gulden. Sementara itu, perang di Eropa makin meluas. Perancis bersekutu
dengan Belanda melawan Inggris. Untuk keperluan dagang dan pertahanan di
Nusantara, dari 1781 -1795 VOC terpaksa menambah utang dari 55 juta
menjadi 137 juta gulden.
Williem
V yang mengungsi ke Inggris memandang tidak masuk akal lagi
mempertahankan VOC sebagaimana yang di kehendaki oleh beberapa pihak di
Belanda. Maka berdasarkan pasal 249 UUD Republik Bataaf(Belanda) 17
Maret 1799, di bentuklah suatu badan untuk mengambil alih semua tanggug
jawab atas milik dan utang VOC. Badan itu bernama Dewan Penyatuan Hak
Milik Belanda di Asia (de Raad van Aziatische Bezittingen en
Etabilisementen). Pengambil alihan itu resmi di umumkan di Batavia pada 8
Agustus 1799. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi di nyatakan bangkrut dan
seluruh miliknya berada di bawah kekuasaan Negara Belanda.
Dengan
demikian, berakhirlah kejayaan suatu kekuasaan besar yang mirip Negara
dari suatu perusahaan dagang. Dengan kekuasaan itu, telah di himpunnya
di Batavia dan sekitarnya lebih daripada 40 kelompok masyarakat yang
berasal dari Nusantara dan berbagai wilayah di dunia. Jumlahnya sekitar
128.000 jiwa, tetapi dari jumlah tersebut hanya sekitar 600 orang Eropa.
Menjelang
akhir kekuasaannya, ke-40 kelompok itu di ciutkan praktis tinggal
menjadi 3 kelompok saja (Eropa, China, dan Bumiputera). Dasar penciutan
ini sebenarnya adalah prakarsa anggota semua kelompok untuk berbaur, dan
yang sebenarnya merupakan reaksi terhadap kekuasaan VOC, baik sebagai
perusahaan dagang maupun sebagai Negara. Dalam prakarsa untuk berbaur
itulah tertanam akar-akar kebangsaan Indonesia. (dalam Christina M. Udiani. 2006: 64).
Daftar Pustaka
Aziz, Maliha dan Asril. 2006. Sejarah Indonesia III. Pekanbaru : Cendekia Insani
Udiani, Christina M. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta : Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar