Konflik
dengan Inggris Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad
ke-18, Palembang dan wilayahnya menjadi incaran Britania dan Belanda.
demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat menguasai Palembang.
Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji
(kantor dagang). Di Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai
Aur.
Orang
Eropa pertama yang dihadapi Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) adalah
Sir Thomas Stamford Raffles. Raffles tahu persis tabiat Sultan
Palembang ini. Karena itu, Raffles sangat menaruh hormat di samping ada
kekhawatiran sebagaimana tertuang dalam laporan kepada atasannya, Lord
Minto, tanggal 15 Desember 1810:
"
Sultan Palembang adalah salah seorang pangeran Melayu yang terkaya dan
benar apa yang dikatakan bahwa gudangnya penuh dengan dollar dan emas
yang telah ditimbun oleh para leluhurnya. Saya anggap inilah yang
merupakan satu pokok yang penting untuk menghalangi Daendels
memanfaatkan pengadaan sumber yang besar tersebut".
Bersamaan
dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga
dilakukan Belanda. Dalam hal ini, melalui utusannya, Raffles berusaha
membujuk SMB II untuk mengusir Belanda dari Palembang (surat Raffles
tanggal 3 Maret 1811).
Dengan
bijaksana, SMB II membalas surat Raffles yang intinya mengatakan bahwa
Palembang tidak ingin terlibat dalam permusuhan antara Britania dan
Belanda, serta tidak ada niatan bekerja sama dengan Belanda. Namun
akhirnya terjalin kerja sama Britania-Palembang, di mana pihak Palembang
lebih diuntungkan.
Peristiwa Loji Sungai Aur (1811)
Hubungan
perdagangan antara Belanda/VOC dengan Palembang sudah terjalin sejak
permulaan abad ke-17, terutama menyangkut komoditi lada dan timah. Pada
permulaan abad ke-19 terjadi perebutan kekuasaan di Nusantara antara
Inggris dan Belanda. Peristiwa ini adalah dalam rangka perang yang
terjadi di Eropa antara Inggris dan Perancis semasa kekuasaan Napoleon
Bonaparte.
Negeri
Belanda menjadi bagian dari Perancis yaitu Bataafse Republik, oleh
karena itu milik Belanda yang ada di Nusantara pun direbut oleh Inggris.
Terjadi penyerbuan tentara Inggris yang berpangkalan di Malaka dan
Penang ke Batavia/Jawa pada bulan Agustus 1811, kemudian penyerahan
kekuasaan Belanda kepada Inggris tanggal 18-9-1811 di desa Tuntang, Jawa
Tengah. Mengetahui hilangnya kekuasaan Belanda setelah penyerbuan ke
Batavia bulan Agustus 1811 tersebut, pada tanggal 14 September 1811
Sultan Mahmud Badaruddin II meminta Residen Belanda beserta pasukannya
meninggalkan loji. la mula-mula menolaknya, kemudian 87 orang digiring
naik ke kapal pada hari itu, rupanya mereka mengadakan perlawanan, oleh
karena itu sampai di muara Sungsang mereka dibunuh semuanya dan kapal
ditenggelamkan. Peristiwa ini dikenal dengan "penyembelihan massal"
(Palembang Massacre). Belanda menuding Raffles (Penguasa Inggris di
Indonesia) sebagai biang keladinya karena menghasut Sultan melakukan
itu, tetapi Raffles menolaknya dan menuduh Mahmud Badaruddin II yang
bertanggung jawab mengenai hal ini.
Seminggu
setelah pengusiran Belanda dari loji sungai Aur, maka loji tersebut
dibakar habis serta dibongkar sampai fondasinya. Rupanya Sultan tidak
ingin melihat adanya monumen Belanda yang masih tersisa meskipun hanya
puing-puingnya.
Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812
Hubungan
Sultan Mahmud Badaruddin II dengan Raffles cukup baik sebelum takluknya
Belanda dari Inggris. Tindakan Sultan yang menolak pembicaraan
menyangkut timah Bangka dan tidak memberi kesempatan meninjau loji
sungai Aur yang telah rata dengan tanah, dan pembunuhan orang-orang
Belanda yang dianggap tak bermoral, merupakan alasan Raffles (penguasa
Inggris di Indonesia) untuk mengirim sebuah ekspedisi militer di bawah
Mayor Jendral Gillespie dari Batavia tanggal 20 Maret 1812.
Sultan
dengan pasukannya telah bersiap-siap menyambut ekspedisi tersebut
dengan memperkuat kubu-kubu pertahanannya di sepanjang sungai Musi,
dengan kubu-kubu meriam terapung, perahu-perahu bersenjata, rakit-rakit
berisi bahan yang mudah terbakar untuk menghambat kedatangan armada
Inggris serta di pusat pertahanannya di keraton (sekarang Benteng)
dengan 242 pucuk meriam siap menghadapi musuh.
Tetapi
karena pengkhianatan adiknya sendiri (Pangeran Adipati Najamuddin =
Husin Dhiauddin) dan lebih unggulnya persenjataan musuh maka dalam waktu
seminggu Palembang jatuh (24 April 1812). Sultan Mahmud Badaruddin II
menyingkir ke pedalaman dengan membawa segala perlengkapan kerajaan dan
hartanya. Gillespie menduduki kraton pada 25 April 1812 dan keesokan
harinya bendera Inggris dikibarkan didalam Kraton. Adik Sultan
(Najamuddin II) dinobatkan oleh Inggris dan harus menandatangani
perjanjian pada 12 Mei 1812 yang isinya antara lain penyerahan Bangka
dan Belitung kepada Inggris. Kapten Meares yang diangkat sebagai Residen
Inggris ditugaskan mengejar Sultan Mahmud Badaruddin II dan terjadi
pertempuran di Bailangu dengan kekalahan pihak Inggris, Meares tertembak
dan akhirnya meninggal. Untuk mempertahankan posisinya Sultan
mendirikan kubu-kubu pertahanan di Muara Rawas dan daerah-daerah
pedalaman dengan demikian Sultan tidak dapat ditaklukkan.
Pengganti
Kapten Meares yaitu Mayor Robison yang bertugas di Palembang mulai 13
Februari 1813. Ia rupanya agak kurang sependapat dengan kebijaksanaan
Raffles, dan mengadakan perundingan dengan utusan S.M.B. II karena
melihat beberapa pertimbangan sebagai berikut: Ketidak becusan
Najamuddin II dan ketidak kepastian bantuan darinya, serta rakyat
Palembang masih menghendaki kembalinya S.M.B. II (yang berakibat negeri
Palembang dalam keadaan anarki).
Perjanjian
Muara Rawas pun dibuat pada 29 Juni 1813, yang menyatakan S.M.B. II
dapat kembali ke Palembang dengan imbalan 200.000 dollar kepada
pemerintah Inggris. Tanggal 13 Juli 1813 S.M.B. II kembali ke Palembang
dan duduklah dia sebagai Sultan yang berdaulat. Tindakan Robison ini
tentu saja tidak disetujui Raffles karena mengangkat kembali Sultan yang
sudah dipecat Raffles.
Raffles
mengirimkan sebuah komisi yang dipimpin Kapten George Elliot disertai
pengganti Robison, M.H.Court, serta Mayor W.Colebrooke dan Letkol
Mc.Gregor yang membawa 400 pasukan Eropa, yang mulai berangkat pada 7
Agustus 1813. Robison diberitahu bahwa segala tindakannya tidak dapat
diterima dan ia dipecat kemudian ditahan. (Kemudian hari setelah ia
bebas, ia mengadukan kepada penguasa Inggris di India dan di Inggris
mengenai tindakan-tindakan Raffles yang tercela).
Komisi
tersebut memecat S.M.B. II setelah hanya sebulan bertahta dan
mengangkat kembali Ahmad Najamuddin sebagai Sultan Palembang. Perdamaian
antara Inggris dan Perancis di Eropa setelah jatuhnya Napoleon
mempengaruhi politik di Nusantara. Perjanjian London 13 Agustus 1814
menetapkan bahwa Inggris harus menyerahkan kembali kepada Belanda semua
koloninya di seberang lautan yang didudukinya sejak 1803.
Kebijaksanaan
pemerintah Inggris ini kurang dapat tanggapan yang baik dari Raffles.
Baru kemudian pada 29 Juni 1817 koloni Belanda di Nusantara dikembalikan
setelah Raffles digantikan John Fendall. Raffles menetap di Bengkulu
sebagai Residen Inggris. Komisaris (Residen) Belanda di Palembang
ditunjuk Mutinghe.
Perang Palembang I (1819)
Setelah
kembalinya Belanda di Palembang, Mutinghe menonaktifkan Najamuddin II
(Husin Dhiauddin) dan mengangkat kembali S.M.B. II. Husin Dhiauddin
tidak senang dengan perlakuan ini dan mengadu kepada Raffles di
Bengkulu. Raffles mengirimkan ekspedisi kira-kira 300 tentaranya ke
Palembang melalui jalan darat.
Terjadi
insiden di Palembang, namun tentara pelopor Inggris yang ada di
Palembang diusir oleh tentara Belanda, dikembalikan lewat laut ke
Bengkulu. Selanjutnya Mutinghe memburu sisa tentara Inggris di Muara
Beliti dan terjadi pertempuran di sana yang berakhir dengan perdamaian.
Dengan adanya insiden ini maka Dhiauddin diasingkan ke Betawi dan
Cianjur beserta para keluarganya.
Ketika
Mutinghe kembali ke kota, ia diserang oleh pengikut-pengikut Badaruddin
II, sehingga ia cepat-cepat mundur ke Palembang. Mutinghe menuduh
Badaruddin II bertanggung jawab atas serangan pengikut-pengikutnya di
pedalaman. Setelah mendaratkan tambahan 209 pasukan Belanda dari
Jakarta, Mutinghe mengultimatum Badaruddin II untuk menyerahkan putra
sulungnya sebagai jaminan. Hal ini menyebabkan kemarahan Badaruddin II.
Terjadi
pertempuran tanggal 11 – 15 Juni 1819 (istilah Palembang "Perang
Menteng") antara pasukan Sultan Mahmud Badaruddin II yang bertahan di
Kraton (Benteng) dan pasukan Belanda di Kraton Lama dan di beberapa
kapal perang. Pasukan Mutinghe dapat dihancurkan, dari semula 500 orang
pasukan tinggal 350, Mutinghe bersama sisa pasukan ini lari ke Batavia.
Perang Palembang II (1819)
Kekalahan
Belanda bulan Juni 1819 tersebut sangat menyakitkan Belanda. Gubernur
Jendral Van der Capellen bersama Panglima Angkatan Laut Laksamana
Wolterbeek dan Panglima Angkatan Darat Mayjen De Kock merencanakan
penyerbuan kembali ke Palembang. Dengan kira-kira 20 kapal perang dan
1500 tentara, pasukan Belanda berangkat dari Batavia (Jakarta) tanggal
22 Agustus 1819. Pada tanggal 30 Agustus 1819 mereka tiba di Mentok, di
Bangka sebagian pasukan ini membantu memerangi perjuangan rakyat Bangka,
dengan korban cukup banyak.
Jika
waktu penyerbuan Inggris tahun 1812 konsentrasi kekuatan Palembang
dipusatkan di pulau Borang dan Pulau Salah Nama, tetapi dengan
pengalaman pahit menghadapi Inggris tersebut maka pusat pertahanan
dirubah. Kali ini pertahanan ditempatkan sepanjang sungai Musi dengan
penempatan meriam-meriam untuk mengganggu perjalanan armada Belanda.
Konsentrasi dipusatkan di sekitar Plaju dan pulau Kembaro (Pulau Kemaro)
dengan beberapa benteng yang diperlengkapi dengan ratusan meriam.
Panglima
perangnya adalah Putra mahkota (Pangeran Ratu, kemudian bergelar
Najamuddin III). Dalam armada yang menyerbu ke Palembang ini beberapa
anggota keluarga Husin Dhiauddin ikut diatas kapal membantu Belanda
menunjukkan jalan.
Selanjutnya
antara 18 September dan 30 Oktober 1819 terjadi pertempuran sepanjang
sungai Musi dan di Palembang dengan hasil pasukan Belanda dipukul mundur
dengan korban kira-kira 500 orang, sepertiga dari seluruh kekuatan
semula. Dalam pelayaran mundur armada Belanda, tanggal 3 dan 4 November
1819 telah sampai di Sungsang lalu menyebrang ke Mentok.
Ini
merupakan kekalahan kedua dari Mutinghe. Dua minggu setelah armada
Belanda meninggalkan Bangka ke Batavia, Residen Bangka Smissaert
dipenggal kepalanya oleh para pejuang pimpinan Dipati Bahrin dan
dipersembahkan kepada Badaruddin II sebagai tanda keberanian dan
loyalitas pejuang Bangka.
Kemenangan
Palembang dirayakan oleh rakyat dengan luapan kegembiraan. Pada bulan
Desember 1819 Pangeran Ratu dinobatkan menjadi Sultan Ahmad Najamuddin
III, menggantikan ayahnya. Sedangkan Mahmud Badaruddin II menjadi
Susuhunan.
Pasukan
dari armada Wolterbeek sesampai di Mentok dibagi tiga, satu bagian yang
luka-luka kembali ke Batavia, satu bagian bersama Wolterbeek berlayar
ke kepulauan Riau. Satu bagian lagi membantu penumpasan perjuangan
rakyat Bangka. Komandan tentara Belanda di Bangka dipimpin Letnan Keer.
Pertempuran terbesar antara lain terjadi di Toboali. Para pemimpin di
Bangka saat itu antara lain Raden Keling dan Raden Badar. Pertempuran di
Bangka baru padam 1821.
Perang Palembang III (1821)
Kekalahan
pada perang-perang sebelumnya, menjadi perhatian serius bagi pihak
Kerajaan Belanda dan pemerintah kolonial Belanda di Batavia. Mereka pun
membuat suatu perencanaan yang lebih matang untuk menundukkan Palembang.
Langkah ditempuh dengan mempersiapkan pasukan yang lebih kuat dan
siasat memecah belah kerabat Kesultanan. Alur-alur pelayaran utama
dari/ke Palembang diblokade angkatan laut Belanda. Meskipun begitu,
jalannya pemerintahan Kesultanan tetap berjalan baik dan rakyat hidup
makmur.
Perombakan
pimpinan pasukan Kesultanan Palembang dilakukan untuk persiapan perang.
Politik memecah belah Belanda terus dijalankan. Sultan Husin Dhiauddin
dan keluarganya yang diasingkan ke Jawa dibujuk agar memihak Belanda.
Pangeran Syarif Muhammad yang keturunan Arab ditugaskan untuk
mempengaruhi orang-orang Arab yang dekat dengan Sultan Mahmmud
Badaruddin II agar mengkhianatinya. Demikian juga dengan orang-orang
Cina. Beberapa Priyayi Palembang diperalat untuk membocorkan rahasia
pertahanan Sultan Mahmud Badaruddin II. Pangeran Akil dari Siak serta
Pangeran Prang Wedono dari Mangkunegaran di Jawa Tengah membantu
penumpasan perjuangan di Bangka dan penyerbuan ke Palembang.
Tanggal
8 Mei 1821 Ekspedisi penyerbuan ke Palembang dipimpin Mayjen De Kock
dilepas Gubernur Jendral Van der Capellen di Batavia dengan upacara
kebesaran. Armada berangkat dari Batavia pada 9 Mei 1821. Kekuatan
armada lebih dari 100 kapal perang besar/kecil dan personil lebih dari
4000 orang, dipersenjatai lebih dari 400 meriam besar/kecil dan
senjata-senjata lain.
Kekuatan
pasukan penyerbuan ke Palembang ini jauh lebih besar dari yang
sebelumnya. Tanggal 13 Mei 1821 armada berhasil mencapai Mentok dan
diperkuat dengan kapal-kapal dan personil yang bertugas memblokade
Palembang, bersama-sama masuk ke sungai Musi. Pertempuran-pertempuran
hebat berlangsung antara tanggal 22 Mei 1821 sampai 24 Juni 1821
sepanjang sungai Musi sampai Kertapati. Husin Dhiauddin membantu Belanda
menujukkan jalan dan beserta keluarganya ikut dalam armada penyerbuan
ini yaitu diatas kapal Fregat Jacob Elizabeth.
Berbeda
dengan tahun 1819 waktu penyerbuan oleh Laksamana Wolterbeek banyak
korban Belanda terjadi karena meriam-meriam maling yang ada sepanjang
sungai Musi. Pada penyerbuan kali ini peta lokasi pertahanan Sultan
telah diketahui Belanda semua melalui mata-mata orang-orang Palembang
sendiri, sehingga Belanda dapat menghindar dari serangan meriam-meriam
itu.
Dalam
peperangan kali ini meskipun di pihak Belanda juga banyak jatuh korban
(lebih dari 300 orang) tetapi pertahanan di Benteng-benteng Palembang
akhirnya bobol. Cerucup-cerucup pancang penghalang kapal antara Pulau
Kembaro dan Plaju dapat dicabuti semua oleh pihak Belanda, menggunakan
peralatan yang khusus didatangkan dari negeri Beianda, sehingga
memungkinkan sebagian besar kapal-kapal armada masuk ke tengah
Palembang.
Pertahanan
Palembang yang terakhir adalah di Benteng Kuto Besak, armada sudah
berada di depannya. Tanggal 26 Juni 1821 Jendral De Kock mengirimkan
surat kepada Badaruddin II yang isinya agar dia menyerah. Badaruddin
menghadapi suatu dilema, yaitu jika bertahan sampai titik darah
penghabisan akan terjadi pertempuran yang sangat dahsyat, yang akan
mengorbankan seluruh rakyatnya dan keluarganya.
Ternyata
dia menunjukkan kebijaksanaanya yaitu menyerahkan kekuasaan Sultan
kepada kemenakannya yaitu Prabu Anom putra saudaranya Husin Dhiauddin,
menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV. Peritiwa ini terjadi tanggal 29 Juni
1821 dan oleh Husin Dhiahuddin dilaporkan kepada De Kock.
Tanggal
13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , SMB II beserta
sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan
tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Pulau
Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
SMB
II telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah
Republik Indonesia berdasarkan SK No. 63/TK/1984 di Jakarta, tertanggal
29 Oktober 1984.
Namanya
kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang,
Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan
10.000-an yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober
2005. Penggunaan gambar SMB II di uang kertas ini sempat menjadi kasus
pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin
pelukisnya, namun kemudian terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak
milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah SMB II.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth T. Gurning, Amurwani Dwi Lestariningsih. 2000. Bumi Sriwijaya. Indonesia: Departemen Pendidikan Nasional
Id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar