BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pentingnya pembahasan topik ini
adalah untuk mengetahui bagaimana penderitaan bangsa Indonesia ketika di jajah
oleh bangsa-bangs Eropa, sehingga terjadi perlawanan-perlawanan di berbagai
daerah untuk menusir para penjajah, khususnya para penjajah Belanda.
Sampai dengan abad 18 penetrasi
kekuasaan Belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi
dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan
dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap
kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan
dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan
sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa
telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi
tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat
gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang
dilakukan bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu
perlawanan sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian
waktu tersebut dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan
bangsa Indonesia terhadap Bangsa-Bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum
tahun 1800, yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten,
Perlawanan Rakyat Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan
sesudah tahun 1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan
Patimura, Perang Diponegoro,Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Bali, Perang
Banjarmasin.
Proses penjajahan
di Indonesia adalah proses perjuangan yang tidak akan cukup tergambarkan dalam
satu atau dua buku. Berbagai pristiwa yang pernah dialami maupun berbagai
peninggalan yang masih tersisa merupakan saksi yang masih banyak menyimpan
rahasiah yang mungkin belum mampu terungkap.
B. Rumusan Masalah
1)
Bagaimana strategi yang dilakukan di
setiap daerah untuk melawan Belanda?
2)
Siapa tokoh yang paling berperan
dalam perlawanan tersebut?
3)
Kapan peristiwa tersebut
berlangsung?
4)
Apakan perlawanan yang mereka
lakukan dapat berhasil mengusir para penjajah?
C. Tujuan Pembahasan
1)
Supaya kita dapat mengetahui susah
payahnya para pejuang yang peduli akan keadaan Bangsa Indonesia.
D. Sistematika
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan
C. Tujuan
D. Sistematika
BAB II PEMBAHASAN
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perlawanan Sebelum
Tahun 1800
1. Perlawanan Rakyat
Mataram
Pada awalnya Mataram dengan Belanda
menjalin hubungan baik. Belanda diizinkan mendirikan benteng(loji) untuk kantor
dagang di Jepara. Belanda juga memberikan dua meriam terbaik untuk Kerajaan
Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi perselisihan antara Mataram dengan
Belanda. Pada tanggal 8 November 1618, Gubernur Jendral VOC Jan Piterzoon Coen
memerintahkan Van Der Marct menyerang Jepara. Peristiwa tersebut memperuncing
perselisihan antara Mataram dengan Belanda. Sultan Agung mempersiapkan serangan
terhadap kedudukan Belanda di Batavia. Serangan pertama dilakukan tahun 1628.
Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22
Agustus 1628. Pasukan ini kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul,
yang dibantu dua bersaudara, yakni Kiai Dipati Mandurojo dan Kiai Upa Santa.
Upaya serangan pertama gagal untuk menghalang mundur pasukan Belanda. Tidak kurang
1.000 prajurit Mataram gugur dalam perlawanan tersebut. Mataram mempersiapkan
serangan kedua ini pun gagal. Selain kelemahan pasukan pertama, lumbung padi
persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung,
perlawanan terhadap kekuasaan VOC juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan
Mas Said.
2. Perlawanan Rakyat
Banten
Konflik dalam urusan kerajaan serta
persaingan dalam tahta kerajaan juga menyebabkan perlawanan terhadap kekuasaan
barat mengalami kegagalan. Misalnya konflik internal kesultanan Banten yang
menyebabkan Banten jatuh ke tangan VOC Belanda. Setelah sultan Ageng Tirtayasa
mengangkat anaknya yang bergelar Sultan Haji sebagai Sultan Banten, Belanda
segera ikut campur dalam urusan Banten dengan cara mendekati Sultan Haji.
Sultan Ageng yang anti terhadap VOC segera menarik kembali tahta untuk anaknya.
Tentusaja tindakan itu tidak disukai oleh sang putra mahkota, sehingga dia
meminta bantuan ke VOC untuk mengambil kembali tahtanya. Akhirnya, melalui
kerjasama dengan VOC, Sultan Haji memperoleh kembali tahtanya dengan imbalan
menyerahkan sebagian wilayah banten kepada VOC.
3. Perlawanan Rakyat
Makasar
Di Pulau Sulawesi, perlawanan untuk
mengusir kekuatan VOC juga tidak berhasil. Penyebabnya hampir sama dengan
daerah lainnya di Nusantara, yaitu karena adanya konflik dan persaingan
diantara kerajaan-kerajaan Nusantara. Misalnya konflik antara Sultan Hasanudin
dari Makasar dengan Aru Pallaka dari Kesultanan Bone yang memberi jalan Belanda
untuk menguasai Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi tersebut.
Untuk memperkuat kedudukannya di
Sulawesi, Sultan Hasanudin menduduki Sumbawa sehingga jalur perdagangan di
Nusantara bagian timur dapat dikuasainya. Oleh karena itu, penguasaan ini
dianggap oleh Belanda sebagai penghalang dalam melakukan aktifitan perdagangan.
Pertempuran antara Sultan Hasanudin dan Belanda selalu terjadi. Pasukan Belanda
yang dipimpin oleh Cornelis Spelman selalu dapat dihalau pasukan Sultan
Hasanudin.
Untuk menghadapi Sultan Hasanudin,
Belanda meminta bantuan kepada Aru Pallaka yang bersengketa dengan Sultan
Hasanudin. Dengan kerjasama tersebut akhirnya Makasar jatuh ke tangan Belanda
dan Sultan Hasanudin harus menandatangani Perjanjian Bonghaya pada tahun 1667
yang berisikan hal berikut :
(1) Sultan Hasanudin
harus memberikan kebebasan kepada VOC untuk berdagang dikawasan Makasar dan
Maluku
(2) VOC memegang monopoli perdagangan di wilayah Indonesia
bagian timur dengan pusatnya Makasar
(3) Wilayah kerajaan Bone yang diserang dan diduduki pada
zaman Sultan Hasanudin dikembalikan kepada Aru Pallaka dan dia diangkat menjadi
Raja Bone.
4. Pemberontakan
Untung Surapati.
Untung ialah seorang budak dari
Bali. Ia dibeli oleh pedagang dari Belanda dan dijadikan pegawai VOC. Kesalahan
yang dibuatnya, yaitu menjalin hubungan dengan seorang gadis yang merupakan
putri dari tuannya, sehingga dia dipenjara. Di dalam penjara ia memimpin
teman-temannya untuk membongkar pintu penjara dan kemudian ia merampok orang
orang Belanda. Untung kemudian menjadi buronan, Belanda selalu menemui
kegagalan dalam menangkapnya.
Di sisi lain, VOC sedang berusaha
melakukan penangkapan terhadap Pangeran Purbaya, putra Sultan Ageng Tirtayasa
yang meloloskan diri. Dalam usahanya VOC menarik kelompok Untung untuk
membantunya menangkap Pangeran Purbaya. Kelompok Untung berhasil menangkap
Pangeran Purbaya. Namun, setelah hampir mendekati Batavia, Untung berubah
pikiran karena mendapat penghinaan dari pimpinan pasukan VOC dan ia memutuskan
untuk kembali melawan VOC.
Ketika bergerilya melawan VOC di wilayah
Priangan dan melanjutkan perjalanan ke Cirebon, ia terlibat perkelahian dengan
seorang pangeran Cirebon yang bernama Surapati. Untung dituduh telah melakukan
pembangkangan terhadap Sultan Cirebon. Namun, ia selamat dari tuduhan tersebut
dan Surapati yang kemudian dipersalahkan, dan akhirnya dihukum mati. Setelah
kejadian itu, Untung dijuluki nama baru, yaitu dengan sebutan Untung Surapati.
Ketika mataram dipimpin oleh Sunan
Amangkurat II, Untung Surapati melanjutkan perjuangan di wilayah Mataram. Dalam
melakukan perlawanan terhadap Belanda, Sunan Amangkurat II merangkul Untung.
Namun ia menyadari akan kelicikan sunan ketika menjerumuskan Trunojaya. Maka,
setelah membunuh Kapitan Tack dan anak buahnya Untung pun menyingkir ke Jawa
Timur. Kaptain Tack adalah utusan Belanda yang bertugas untuk menangkap Untung
Surapati.
Perjuangan Untung Surapati semakin
kuat dengan dibangunnya pusat perjuangan untuk
melawan VOC di Pasuruan Jawa Timur yang bernama Wiranegara. Wiranegara
dipimpin dan diperintah oleh Untung Surapati.
Konflik lain terjadi antara Pangeran
Pugar yang merupakan adik dari Amangkurat II dan Amangkurat III atau Sunan Mas.
Konflik ini terjadi karena perbedaan prinsip. Pangeran Pugar memihak Belanda,
sedangkan Sunan Mas anti Belanda. Dalam konflik ini, tentu VOC memilih Pangeran
Pugar.
Kemudian Pangeran Pugar dan VOC
membuat perjanjian dan menandatanganinya di Semarang. Isi dari perjanjian
tersebut, antara lain sebagai berikut.
(1) Seluruh daerah Priangan, Cirebon dan
Madura bagian timur diserahkan kepada VOC.
(2) Pangeran Pugar dibebaskan dari
segala utangnya terdahulu, tetapi selama 25 tahun Sunan wajib menyerahkan 8000
koyan beras kepada VOC.
(3) Di daerah Kartasura VOC bersedia
menempatkan pasukannya untuk melindungi sunan.
Karena telah berhasil memperoleh
kemenangan, Pangeran Pugar dinobatkan menjadi susuhunan oleh VOC dengan nama
Pakubuwono I.
Sunan Mas yang meninggalkan
Kartasura setelah kalah oleh Pangeran Pugar bergabung dengan Untung Surapati
yang bertahan di Kediri, Banggil, Pasuruan dan Belambangan pada 1706. Untung
Surapati gugur dalam pertempuran besar di Banggil. Lalu, Sunan Mas menghentikan
perlawanan dan menyerahkan diri ke VOC sehingga dia diasingkan kedaerah Sailan.
Perlawanan dilanjutkan oleh
keturunan Untung Surapati dengan semangat berkobar dan pantang menyerah. Namun
akhirnya, mereka kalah dan Herman de Wilde, seorang panglima VOC, berhasil
menduduki Pasuruan. Ia kemudian menemukan dan membongkar makam Surapati,
sisa-sisa jenajah pahlawan perkasa itu kemudian dibakar dan abunya dibuang ke
laut.
B. Perlawanan Sesudah
Tahun 1800
1. Perlawanan Sultan
Nuku(Tidore)
Kesultanan Tidore di bawah pimpinan
Sultan Nuku melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Untuk
menghadapi kekuatan Belanda, Sultan Nuku melakukan persiapan perang dengan cara
meningkatkan kekuatan perangnya hingga 200 kapal perang dan 6000 orang pasukan.
Setelah itu, perjuangan Sultan Nuku untuk mengusir kekuatan Belanda tersebut
dilakukan pula jalur diplomasi.
Upaya diplomasi yang ditempuh Sultan
Nuku tersebut ialah mengadakan hubungan dengan inggris. Upaya diplomasi
tersebut dilakukan dalam rangka meminta bantuan dan dukungan dari Inggris,
terutama dalam memperkuat senjata untuk menghadapi persenjataan Belanda yang
lebih maju dibandingkan dengan persenjataan yang dimiliki kesultanan Tidore.
Siasat untuk mengadu domba antara inggris dan belanda berhasil dilakukan,
sehingga pada 20 Juni 1801 Sultan Nuku berhasil membebaskan Kota Soa-Siu dari
kekuasaan Belanda. Maluku Utara akhirnya dapat dipersatukan dibawah kekuasaan
Sultan Nuku.
2. Perlawanan Patimura
Pada tahun 1817, terjadi perubahan
penguasaan di Indonesia. Belanda kembali berkuasa di Indonesia menggantikan
Inggris. Perkembangan itu telah menggelisahkan masyarakat Maluku. Belanda menerapkan
kebijakan yang sangat berbeda dengan Inggris. Rakyat pun kecewa, rakyat dipaksa
menyerahkan berbagai macam hasil bumi, seperti kopi dan rempah-rempah. Rakyat
mendapat bayaran yang sangat kecil, bahkan kadang kadang tidak dibayar. Pada
bulan Mei 1817, rakyat Maluku di Saparua melancarkan perlawanan yang dipimpin
oleh Thomas Matulessy atau patimura. Thomas Matulessy dilahirkan di Haria, Pulau Saparua Maluku.
Pada tahun 1783. Pada masa pemerintahan Inggris, Patimura masuk dinas militer
berpangkat sersan.
“Di
Pulau Saparua pertemuan-pertemuan pertama dilakukan di sebuah tempat yang
dinamakan Hutan Kayuputih” (Poesponegoro et al. 2010 :183). Sehari sebelum penyerbuan ke benteng Duurstede,
mereka berkumpul untuk merundingkannya dan memilih pemimpin perangnya, Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoro et
al. 2010 :184), bahwa :
“Pada pertemuan tanggal 14 Mei 1817 di
Pulau Saparua, para pemuda dan penguasa-penguasa desa(raja atau patih dan orang
kaya) memutuskan untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial di benteng
Duurstede yang terletak di Pulau Saparua. Keputusan yang sangat dirahasiahkan
ini diteruskan kepada setiap negeri di pulau itu. Selain itu, dalam musyawarah di
tempat itu mereka juga memilih Thomas Matulesy sebagai pimpinan perang dengan
julukan Pattimura”
Pada malam hari tanggal 15 Mei 1817 para
pemuda Saparua dibawah pimpinan Patimura, mulai melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Mereka membakar perahu-perahu pos di pelabuan. Setelah itu, mereka
mengepung Benteng Duursted. Pada tanggal 16 Mei 1817, Benteng tersebut berhasil
diduduki oleh barisan Patimura dan kawan-kawan. Setelah itu, Benteng Deverdijk
dapat dikuasai dan Residen Van Der Berg berhasil ditembak mati. Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoro et
al. 2010 :28), bahwa : “Setiap penghuni benteng tersebut, termasuk
Residen Van Der Berg beserta keluarganya tewas...”
Perlawanan terhadap Belanda juga terjadi di
daerah Maluku lainnya, seperti di Haruku, Pulau Seram, Larike, Asilulu,
Wakasihu. Perlawanan rakyat Maluku tersebut sempat menghancurkan pertahanan
Belanda. Pada bulan Juli 1817, pihak Belanda mendatangkan bantuan dengan
kekuatan yang lebih besar dari Batavia. Pasukan ini dipimpin oleh Laksamana
Muda Buykes. Kemudian belanda melancarkan serangan besar-besaran, sehingga
pasukan Patimura terdesak oleh Belanda. Pada Bulan Agustus 1817, Patimura
terpaksa menyingkir ke hutan dan melakukan perang gerilya. Dengan tipuan
muslihat, Belanda berhasil menguasai kembali Benteng Deverdijk pada tanggal 18
November 1817. Belanda juga berhasil menangkap dan menghukum mati kapitan
Paulus Tiahahu. Setelah itu, perlawanan lainnya dilakukan oleh pehlawan wanita,
yaitu Cristian Martha Tiahahu yang berusia 17 tahun yang pergi ke hutan untuk
melakukan perlawanan terhadap Belanda. Sekitar bulan November 1817, Patimura
terdesak dan akhirnya dapat ditangkap oleh Belanda. Pada tanggal 16 Desember
1817, Patimura dihukum gantung di alun alun Ambon di depan Benteng Victoria. Sebagaimana dikemukakan oleh (Poesponegoro et
al. 2010 : 195), bahwa : “Dalam bulan Desember 1817 kapitan patimura
bersama tiga orang panglimanya dijatuhi hukuman mati yang dijalankannya di
benteng Niuew Victoria di Ambon”. Sebelum hukuman gantung dilakukan,
Patimura berkata Patimura akan mati,
tetapi Patimura-Patimura muda akan bangkit.
3.
Perang Diponegoro
Sejak Daendels berkuasa, maka wilayah kekuasaan raja-raja
Jawa, terutama Yogyakarta dan Surakarta, makin dipersempit. Hal ini disebabkan
karena banyak daerah yang diberikan kepada Belanda sebagai imbalan atas
bantuannya. Adapun daerah yang diinginkan Belanda adalah daerah Pantai Utara
Jawa. Karena itu daerah-daerah tersebut berangsur-angsur diambil-alih oleh
Belanda. Daerah Kerawang dan Semarang dikuasai oleh Belanda pada tahun 1677,
dan pada tahun 1743 Daerah Cirebon, Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan dan
Madura. Dengan hilangnya daerah-daerah pesisir, Kerajaan Mataram makin
melepaskan kegiatan pelayaran dan perdagangannya, dan memusatkan kegiatannya
pada bidang pertanian.
Di samping makin sempitnya wilayah kerajaan yang bias
memperkecil kekuasaan raja, juga dapat menyebabkan kecilnya penghasilan
kerajaan. Raja makin lama makin tergantung kepada Belanda. Untuk membiayai
pemerintahan kerajaan saja ia semakin tergantung pada uang pengganti dari
Belanda di samping dari hasil pajak penghasilan dari daerah yang masih
dikuasainya.
Untuk menambah penghasilan, banyak dilakukan penarikan cukai
sebagai sumber penghasilan tertentu yang diborongkan kepada orang Cina.
Pemborongan itu misalnya terjadi pada cukai jalan, jembatan dan sarang burung.
Akibat dari sistem pemborongan ini beban rakyat makin berat. Pemborong banyak
melakukan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga pemungutan pajak sering dilakukan
secara sewenang-wenang.
Jembatan-jembatan, pasar dan sebagainya terdapat gerbang
cukai. Orang-orang yang melalui gerbang itu harus membayar cukai. Hal ini
sangat menyusahkan lalu lintas, meninggikan harga barang dan menyusahkan
kehidupan rakyat. Juga gerbang-gerbang ini disewakan kepada orang Cina dengan
akibat-akibatnya yang tak menyenangkan. Pemerintah Belanda tidak mau
menghapuskan gerbang-gerbang itu, lantaran gerbang-gerbang mendatangkan
penghasilan yang bukan sedikit bagi pemerintah.
Pada tahun 1823 Gubernur Jenderal Van Der Capellen
memerintahkan agar tanah-tanah yang disewa dari kaum bangsawan dikembalikan
lagi kepada yang punya, dengan perjanjian, bahwa uang sewa dan biaya lainnya
harus dibayar kembali kepada si penyewa. Dengan demikian beban para bangsawan juga
sangat berat karena uang sewa itu sudah dibelanjakan.
Perpecahan di kalangan keluarga kerajaan di Mataram tidak
saja melemahkan kerajaan, tetapi juga menyebabkan pengaruh Belanda makin
menjadi kuat. Setiap pertentangan antar keluarga bangsawan di keraton akan
mengundang campur tangan pihak Belanda, yang pada
akhirnya
merugikan kerajaan itu sendiri sebagai keseluruhan. Pada masa Daendels terdapat
usaha mencampuri urusan tata cara di istana. Misalnya, Daendels menghendaki
persamaan derajat dengan Sultan pada waktu upacara kunjungan resmi diadakan di
kraton. Dalam upacara tersebut pembesar Belanda supaya diijinkan duduk sejajar
dengan raja, dan sajian sirih supaya dihapuskan. Raffles juga meneruskan usaha
yang sama terhadap kehidupan keraton.
Kondisi seperti itu menimbulkan rasa kekecewaan dan
ketidaksenangan di antara beberapa golongan bangsawan. Mereka menganggap bahwa
martabat kerajaan menjadi merosot akibat tindakan Belanda tersebut. Tambahan
lagi setelah kebiasaan minum-minuman keras beredar di kalangan kaum bangsawan
atau rakyat umum, kekhawatiran dan kekecewaan di kalangan golongan agama di
istana makin meningkat.
Kekecewaan di kalangan keraton dan semakin beratnya beban
rakyat menyebabkan sebagian besar rakyat merasa tertekan hidupnya. Ibarat api
dalam sekam, kebencian rakyat sewaktu-waktu dapat meledak, bila sumbu letupnya
sudah terbakar. Suasana pada umumnya
gelisah
dan jika ada seseorang saja yang dapat menyusun tenaga rakyat, niscaya akan
meletus api pemberontakan yang besar. Pada saat segenting itu muncullah seorang
pemimpin besar, yang dapat membimbing rakyat, yaitu Pangeran Diponegoro. Ia
adalah putra sulung Sultan Hamengku Buwono (HB) III dari Garwa Ampeyan.
Dilahirkan pada tanggal 11 November 1785 dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo.
Sejak kecil beliau dididik oleh neneknya, Kanjeng Ratu Ageng di Tegalrejo,
terkenal sebagai orang yang amat saleh. Buah usahanya ternyata sekali pada diri
Diponegoro. Beliau selalu berusaha memperdalam soal agama.
Untuk memperkuat imannya, beliau sering mengasingkan diri di
tempat-tempat yang jauh, bertapa dan mengembara, sehingga dengan sendirinya
banyak orang tertarik oleh kepribadiannya. Sebagai orang yang sangat saleh,
beliau tidak mementingkan keduniawian, dan selalu mengingat kepentingan umum.
Terdesak oleh keadaan maka beliau bertindak untuk mempertahankan kedudukan para
bangsawan dan membela nasib rakyat kecil.
Sewaktu Inggris masih berkuasa, Sultan Hamengku Buwono III
dan Raffles pernah menjanjikan kepada Pangeran Diponegoro akan naik tahta
sebagai pengganti ayahnya. Namun setelah Sultan Hamengku Buwono III wafat tahun
1814, yang menggantikan bukan Diponegoro
tetapi
adiknya yakni Mas Jarot dengan gelar Sultan Hamengku Buwono IV (HB IV), sedang
Pangeran Diponegoro diangkat sebagai penasehatnya.
Pengaruh Pangeran Diponegoro terhadap Sultan HB IV besar
sekali. Atas desakan Pangeran Diponegoro, Sultan HB IV pernah mencabut
keputusannya yang telah disampaikannya kepada residen Belanda. Karena kehidupan
HB IV yang kebarat-baratan, maka wafatnya yang tiba-tiba tahun 1822, dianggap
oleh Diponegoro sebagai kutukan.
Sepeninggal HB IV, yang diangkat sebagai Sultan bukan
Pangeran Diponegoro tetapi Raden Mas Menol dengan gelar Sultan HB V. Karena
raja tersebut baru berusia tiga tahun, maka pemerintah Belanda mengangkat
beberapa orang wali yaitu Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Ibu dan
Nenek Sultan. Dengan kedudukannya itu, pengaruh Pangeran Diponegoro semakin
bertambah besar. Melihat pengaruh
Diponegoro yang sebesar itu, baik di kalangan istana maupun di segala lapisan
masyarakat, sebetulnya pemerintah Belanda menyesal memilih beliau sebagai wali
Sultan. Dari sebab itu diaturnya supaya wali-wali tersebut jangan sampai ikut
campur dalam pemerintahan.
Melihat kondisi Kesultanan dinilai mengancam kekuasaan Belanda,
maka Belanda menetapkan bahwa pemerintahan diserahkan kepada Patih Danurejo dan
di bawah pengawasan residen. Pangeran Diponegoro yang menyadari maksud dan
tujuan siasat Belanda itu menganggap bahwa kedudukannya sebagai wali Sultan
bertentangan dengan aturan-aturan agama sehingga ia menolak pengangkatan
tersebut. Lebih-lebih karena Pangeran Diponegoro melihat sendiri
tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang benar-benar menyakitkan hati,
misalnya:
(1)
Residen Nahuys memasukkan adat-istiadat dan pakaian Eropa di kraton.
(2)
Makin banyak tanah disewakan kepada orang-orang Eropa, bahkan Nahuys sendiri
membuka kebun yang luas.
(3)
Tindakan-tindakan pegawai pemerintah Belanda yang bersikap mengejek terhadap
Pangeran Diponegoro.
Kebijaksanaan lain yang dianggap melecehkan Diponegoro
adalah perbuatan residen dan patih yang selalu mengambil keputusan-keputusan
dengan tidak dirundingkan terlebih dahulu dengan Diponegoro dan Pangeran
Mangkubumi. Misalnya, mengangkat seorang penghulu itu adalah hak Sultan. Tetapi
waktu penghulu Rachmanudin berhenti lantaran berbeda pendapat dengan patih,
maka residen dan patih mengangkat penggantinya tidak dengan persetujuan para
wali. Pangeran Diponegoro menganggap pengangkatan itu tidak sah. Sekali
peristiwa Pangeran Diponegoro diperlakukan tidak pantas oleh dua orang pegawai
Belanda, dalam pesta di rumah patih. Beliau terus meninggalkan perayaan
tersebut, lalu mengasingkan diri di Tegalrejo.
Pada
waktu residen dan patih menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan
Notoyudan) yang akan melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka
Diponegoro menentangnya. Sebagaimana dikemukakan
oleh Poesponegoro et al. (2010 :229),
bahwa : “Pada suatu hari, Smissaert dan Danurejo memerintahkan memasang anjir (pancung) sebagai tanda akan
dibuatnya jalan baru, yang sengaja melintasi tanah milik Diponegoro di
Tegalrejo”
Di samping akan melalui tempat yang keramat dan tidak
dirundingkan lebih dahulu, Pangeran Diponegoro menilai bahwa jalan tersebut
akan digunakan untuk memperlancar serangan Belanda ke Tegalrejo. Peristiwa
tersebut menyebabkan Pangeran Diponegoro tidak dapat menahan kesabarannya lagi.
Beliau meminta agar patih dipecat, tetapi ditolak oleh residen. Karena itu
Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti tonggak-tonggak pemancang jalan yang
akan dibuat dicabut diganti dengan bambu runcing. Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :229), bahwa : “Diponegoro memerintahkan anak buahnya
untuk mencabuti pancung-pancung tersebut”.
Pemerintah Belanda mengutus Pangeran Mangkubumi ke Tegalrejo
untuk memanggil Diponegoro mempertanyakan tindakan-tindakan Diponegoro itu.
Beliau tahu bahwa beliau akan ditangkap jika beliau mengabulkan panggilan itu.
Pangeran Mangkubumi sendiri akhirnya tidak mau pulang ke kota. Akibatnya
pasukan Belanda menyerbu ke Tegalrejo sehingga akhirnya pada tanggal 25 Juli
1825 berkobarlah perlawanan Diponegoro. Dalam pertempuran tersebut, Pangeran
Diponegoro bersama keluarganya berhasil melepaskan diri dari serbuan Belanda
itu.
Setelah pertempuran di Tegalrejo ini, Diponegoro dengan
pasukannya menyingkir ke Gua Selarong, sekitar 15 km sebelah barat daya kota
Yogyakarta, guna mengatur siasat perang selanjutnya. Keluarga Pangeran
Diponegoro diungsikan ke Dekso (Kulon Progo) . Kabar mengenai meletusnya
perlawanan Diponegoro terhadap Belanda meluas ke berbagai daerah. Rakyat petani
yang telah lama menderita dalam kehidupannya, banyak yang segera datang untuk
ikut serta dalam perlawanan. Demikian pula para ulama dan bangsawan yang kecewa
terhadap Belanda bergabung dengan Diponegoro. Daerah-daerah lain juga menyambut
perlawanan Diponegoro dengan melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Kyai Mojo, seorang ulama dari daerah Surakarta, datang untuk
bergabung dengan Diponegoro. Bersama dengan Kyai ini dibentuklah kelompok
pasukan. Semboyan Perang Sabil dikumandangkan ke segenap pengikutnya, baik yang
ada di daerah Selarong maupun yang
ada
di daerah lain. Malahan seorang Kyai yang bernama Hasan Besari diutus
Diponegoro untuk menyebarkan Perang Sabil di daerah Kedu. Di samping para tokoh
ulama, Diponegoro juga mendapat dukungan para Bupati Monconegoro. Di antaranya
yang terkenal adalah Alibasya Sentot Prawirodirjo dari Madiun yang kemudian
menjadi Panglima Perang Diponegoro. Itulah sebabnya pada tahun-tahun pertama
pertempuran dengan cepat meluas sampai ke daerah Pacitan, Purwodadi, Banyumas,
Pekalongan, Semarang, Rembang, Kertosono dan Madiun.
Sementara itu tokoh-tokoh yang memihak Belanda untuk
menentang perlawanan Diponegoro antara lain Patih Danurejo, Sunan Surakarta,
raja-raja dari Madura. Dalam pertempuran di Kertosono, rakyat dipimpin langsung
oleh Bupati Kertosono, pertempuran di Banyumas, rakyat dipimpin oleh Pangeran
Suriatmojo, perlawanan di Madiun dipimpin oleh Bupati Kertodirjo dan Pangeran
Serang, sedang perlawanan di Plered dipimpin oleh Kertopengalasan. Dalam
pertempuran di daerah Lengkong (1826), Belanda dipukul mundur, seorang letnan
Belanda tewas dan dua orang bangsawan gugur.
Dalam pertempuran-pertempuran dari tahun 1825 sampai 1826
kemenangan ada di pihak Diponegoro. Hal ini disebabkan :
(1)
Semangat perang pasukan Diponegoro masih tinggi,
(2)
Siasat gerilya yang dilakukan Diponegoro belum tertandingi,
(3)
Sebagian pasukan Belanda masih berada di Sumatera Barat dalam rangka Perang
Padri.
Karena itu tawaran Belanda untuk melakukan perdamaian selalu
ditolak oleh Diponegoro.Melihat semakin kuatnya Diponegoro dan semakin
meluasnya medan pertempuran, maka Belanda menilai bahwa perlawanan Diponegoro
sangat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia. Itulah sebabnya Belanda
lalu menggelar berbagai siasat untuk menumpas atau menghentikan perlawanan
Diponegoro itu. Dalam rangka untuk menghadapi perlawanan Diponegoro itu,
Belanda melakukan siasat-siasat sebagai berkut:
(1)
Sultan HB II (Sultan Sepuh) yang dibuang Raffles ke Pulau Penang, dikembalikan
ke Yogyakarta dengan tujuan mendatangkan perdamaian sehingga para bangsawan
yang memihak Diponegoro diharapkan kembali ke kraton. Usaha tersebut gagal
karena Sultan Sepuh kurang berwibawa lagi bahkan tidak lama kemudian terus
wafat sehingga para bangsawan tetap melakukan perlawanan.
(2)
Jenderal de Kock berusaha memecah belah pengikut Diponegoro. Para bangsawan
dibujuknya supaya pulang ke ibu kota. Mereka tidak akan dituntut. Juga
kedudukan, uang dan sebagainya kerap kali dipergunakan sebagai pemikat hati.
Usaha de Kock ini rupanya berhasil juga, sebab Kyai Mojo, Pangeran
Kusumonegoro, Sentot dan lain-lain meninggalkan Diponegoro, sehingga akhirnya
beliau tinggal seorang diri. Kyai Mojo diasingkan ke Minahasa, sedang Sentot
dikirim ke Sumatera untuk memerangi kaum Padri, namun akhirnya ditangkap lagi
dan dibuang ke Bangkahulu.
(3)
Untuk mempersempit ruang-gerak Diponegoro, Jenderal de Kock menggunakan taktik
Benteng Stelsel (perbentengan), yaitu mendirikan benteng-genteng di tiap daerah
yang direbut dan kemudian dijaga oleh pasukan prajurit, dan benteng itu saling
berhubungan. Penduduk daerah itu tetap tenang dan tidak ikut bertempur.
Benteng-benteng tersebut dibangun di Gombong, Purworejo, Magelang, Ambarawa dan
Salatiga.
(4)
Sesudah Diponegoro semakin terjepit, Belanda melakukan pendekatan agar
Diponegoro mau diajak untuk melakukan perundingan perdamaian. Perundingan
semacam itu pernah di Klaten tahun 1827, tetapi gagal.
Karena bala bantuan Belanda terus berdatangan, maka posisi
tentara Pangeran Diponegoro semakin terjepit sehingga sering terjadi
pertempuran terbuka. Akibatnya pengikut-pengikut setianya semakin kecil sebab
Pangeran Suryomataram dan Prangwadono tertangkap, sedangkan Pangeran Serang dan
Pangeran Notoprojo menyerah.
Pangeran Ario Papak dan Sosrodilogo (Rembang) juga menyerah.
Pada tahun 1829 Pangeran Mangkubumi dan Alibasya Sentot Prawirodirjo mengambil
keputusan menyerahkan diri sebelum dikalahkan Sebagaimana
dikemukakan oleh (Poesponegoro et al. 2010 :247), bahwa : “Akibat tekanan dan kejaran terus
menerus yang dilakukan oleh pasukan de Kock, akhirnya Sentot menyerah pada
bulan Oktober 1829”. Sampai tahun
1829 tersebut kira-kira 200 ribu pasukan Diponegoro telah gugur. Oleh karena
kondisinya yang semakin terdesak dan melihat kedudukannya yang sudah tidak ada
harapan lagi, maka Diponegoro bersedia untuk melakukan perundingan.
Melalui Kolonel Kleerens, pada tanggal 16 Pebruari 1830
Diponegoro mau melakukan pertemuan di desa Romo Kamal. Dalam pertemuan itu
dibuat syarat-syarat perundingan sebagai berikut:
(1) Bila mana dasar
perundingan tidak dapat disetujui oleh Diponegoro, beliau boleh kembali secara bebas.
(2) Dalam perundingan itu Diponegoro harus jauh dari
tentaranya,sedang tentaranya tidak boleh membawa senjata. Rencana perundingan
perdamaian itu dilakukan di kota Magelang.
Karena pada saat itu kebetulan bulan Puasa, maka perundingan
itu ditunda. Pada SAAT itu bertambah pengikut Diponegoro yang masuk kota
Magelang. Sehabis Puasa Jenderal de Kock mengajak melakukan perundingan. Namun
Diponegoro belum bersedia karena masih dalam suasana Lebaran. Setelah
berunding, Jenderal de Kock mendesak Diponegoro mengemukakan
tuntutan-tuntutannya. Pada saat itu Diponegoro menghendaki menjadi kepala agama
Islam (Panatagama) di Jawa agar supaya dapat memelihara kerohanian rakyat.
Tuntutan itu ditolak oleh pemerintah Belanda.
De Kock takut kalau-kalau Diponegoro akan menyerang lantaran
pengikutnya kian hari kian banyak yang masuk kota Magelang. Sementara
pemerintah Negeri Belanda mendesak de Kock agar segera menghentikan perlawanan
dengan cara apapun agar melapangkan jalan bagi pelaksanaan Culturstelsel. Di
samping itu, de Kock juga terancam dipecat jika Diponegoro sampai lepas
kembali.
Dengan berbagai alasan tersebut, Pangeran Diponegoro
ditangkap di tempat perundingan tersebut. Diponegoro kemudian dibawa ke Menado
dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Makasar dan di sana beliau wafat pada
tanggal 8 Januari 1855. Makam beliau hingga kini menjadi tempat ziarah bangsa
Indonesia.
Perlawanan Pangeran Diponegoro membawa akibat yang cukup
berat. Korban di pihak Belanda sebanyak 15.000 tentara, terdiri dari 8000 ribu
orang Eropa, dan 7000 orang serdadu pribumi. Biaya yang harus dikeluarkan untuk
membiayai perang itu tidak kurang dari 20 juta
gulden.
Di samping itu, tidak sedikit perkebunan-perkebunan swasta asing yang rusak.
Kemakmuran rakyat lenyap sama sekali.
Akibat perlawanan Diponegoro, maka batas-batas Surakarta dan
Yogyakarta diubah, daerahnya diperkecil. Berhubungan dengan tindakan ini, maka
Sunan Paku Buwono VI merasa kecewa sekali, lalu meninggalkan ibu kota.
Pemerintah Belanda menaruh curiga, lalu Sunan
ditangkap
dan dibuang ke Ambon (1849) . Dengan demikian maka berakhirlah perlawanan
penghabisan dari raja-raja Jawa.
4. Perang Paderi
Meskipun masyarakat Minangkabau sudah lama memeluk agama
Islam tetapi sebagian besar dari mereka masih memegang teguh adat dan
menjalankan kebiasaan lama. Kebiasaan seperti minum minuman keras, berjudi dan
menyabung ayam masih banyak yang melakukannya, sekalipun dalam ajaran Islam
termasuk perbuatan yang terlarang.
Keadaan semacam itu terutama terjadi di lingkungan golongan
masyarakat yang memang kepercayaan Islamnya masih belum tebal. Sampai beberapa
lamanya tata hidup menurut Islam dan kebiasaan menurut adat masih dapat hidup
berdampingan dalam masyarakat Minangkabau.
Pada permulaan abad ke-19 kembalilah tiga orang haji, yaitu
Haji Miskin, Haji Piabang dan Haji Sumanik dari Mekah ke Minangkabau. Mereka
menganut aliran Wahabi, suatu aliran di dalam agama Islam yang menjalankan
dengan keras ajaran-ajaran agama. Mereka sangat
kecewa
melihat di Minangkabau merajalela perbuatan-perbuatan yang terlarang oleh
agama. Mereka kurang menaati ajaran agama dan lebih dipentingkannya adat dari
aturan-aturan agama, terutama di kalangan kaum bangsawan dan raja-raja (kaum
adat) .
Bertolak dari kondisi tersebut, orang-orang yang baru pulang
dari Mekah itu membulatkan tekad membersihkan agama Islam dari
perbuatan-perbuatan yang melanggar ajaran agama dan dari adat yang masih
dipegang teguh. Barang siapa melanggar ajaran agama dihukum
dengan
berat sekali. Kewajiban agama harus ditepati betul-betul. Orang-orang yang ikut
gerakan tiga orang ulama itu juga berpakaian putih-putih sehingga disebut Orang
Putih atau Orang Padri.
Nama
Padri mungkin juga asalnya dari nama Pedir, suatu daerah di Aceh. Pada waktu
itu Pedir menjadi pusat orang-orang yang pergi naik haji. Namun ada juga yang
mengatakan bahwa nama Padri berasal dari kata Portugis padri yang berarti
pastor (ulama) agama Katolik, karena kaum Padri memakai jubah seperti pastor.
Gerakan Padri makin besar pengaruhnya di Minangkabau. Mula-mula dipimpin oleh
Tuanku Nan Renceh, kemudian oleh Datuk Bendaharo, Tuanku Pasaman dan Malim
Basa. Di antara pemimpin itu yang sangat terkenal adalah Malim Basa yang
kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.
Kedudukan raja-raja dan kaum bangsawan menjadi genting. Di
bawah pimpinan Suraaso, kaum adat melakukan perlawanan. Namun mereka kehilangan
kekuasaan dan pengaruh mereka, bahkan perlawanan mereka dipatahkan oleh kaum
Padri, dan banyak di antara mereka diusir dari Minangkabau. Karena para raja
dan bangsawan itu kedudukannya makin terdesak, maka mereka minta bantuan kepada
Raffles (1818) yang berkedudukan di Bangkahulu (Bengkulen) . Mula-mula ia
menyanggupi bantuan itu, tetapi atas protes pemerintah Belanda yang kembali
lagi di
Padang,
ia mendapat peringatan dari pemerintah pusat Inggris, sehingga ia mengurungkan
pemberian bantuan itu. Karena itu kaum adat minta bantuan Belanda.
Pada tahun 1821 datanglah tentara Belanda dibawah pimpinan
Kolonel Raaff, yang dapat memukul mundur kaum Padri, lalu mendirikan benteng
Fort van der Capellen di Batusangkar tahun 1822. Kemudian Jenderal de Kock
mendirikan benteng Fort de Kock di Bukittinggi. Walaupun kota-kota besar
dikuasai Belanda, tetapi dengan menjalankan siasat perang gerilya kaum Padri
tetap berkuasa. Dalam konflik itu kaum adat cenderung kepada pihak Belanda, dan
memang kaum adat meminta pihak Belanda untuk melawan kaum Padri.
Pada tahun 1825 di Jawa mulai berkobar perang Diponegoro.
Belanda menilai bahwa perang Diponegoro lebih berbahaya dari pada Perang Padri.
Karena itu, pasukan Belanda yang bertugas di Sumatera Barat harus dikurangi
untuk dikerahkan ke Jawa. Karena kondisi tersebut Belanda menggunakan taktik
berdamai dengan pihak Padri. Perdamaian itu diadakan pada tahun 1825.
Pada saat terjadi gencatan senjata tersebut, ternyata
Belanda melakukan tekanan-tekanan kepada penduduk setempat, sehingga akhirnya
meletuslah perlawanan kembali dari pihak kaum Padri diikuti oleh rakyat
setempat. Perlawanan segera menjalar kembali ke berbagai tempat. Tuanku Imam
Bonjol mendapat dukungan Tuanku nan Gapuk, Tuanku nan Cerdik, dan Tuanku Hitam,
sehingga mulai tahun 1826 volume pertempuran semakin meningkat. Setelah Perang
Diponegoro selesai (1830), pasukan Belanda yang berada di Jawa dikerahkan
kembali ke Sumatera Barat untuk menghadapi kaum Padri. Salah satu markas kaum
Padri yang berada di Tanjung Alam diserang oleh pasukan Belanda (1833) . Akibat
pertempuran tersebut, pasukan Padri melemah karena beberapa pemimpin Padri
menyerah, misalnya Tuanku nan Cerdik. Sejak itu perlawanan-perlawan terhadap
Belanda dipimpin sendiri oleh Tuanku Imam Bonjol.
Sejak tahun 1830 kaum Padri mendapat bantuan dari kaum adat.
Mereka mau bersatu dengan kaum Padri karena ingin mempertahankan kemerdekaan
mereka dari penjajah Belanda. Mereka sadar, bahwa pemerintahan Belanda bagi
mereka adalah rodi, menyediakan keperluan
Belanda,
pemerasan dan ekspedisi-ekspedisi yang kejam. Walaupun telah mendapat bantuan
dari kaum adat, tetapi kekuatan kaum Padri semakin merosot. Sebaliknya,
kekuatan Belanda semakin bertambah kuat. Pasukan Diponegoro yang menyerah
kepada Belanda dikerahkan untuk menumpas kaum Padri, termasuk Basah Sentot
Prawiradirja (walaupun akhirnya ia dicurigai mengadakan hubungan dengan kaum
Padri sehingga ditangkap lagi) .
Untuk mempercepat penyelesaian Perang Padri, Gubernur
Jenderal van den Bosch datang ke Sumatera Barat untuk menyaksikan sendiri
keadaan di medan pertempuran. Ia mengeluarkan pernyataan gubernemen yang
terkenal dengan nama Pelakat Panjang. Pernyataan itu memberi hak-hak istimewa
kepada mereka yang memihak Belanda. Dalam kondisi terjepit, pihak Belanda
mengajak Imam Bonjol untuk berunding. Tetapi perundingan perdamaian itu oleh
Belanda
hanyalah
dipakai untuk mengetahui kekuatan yang terakhir di pihak Padri, yang ada di
Benteng Bonjol, sementara mengharapkan Imam Bonjol mau menyerahkan diri.
Perundingan gagal karena pihak Belanda memang telah
melakukan persiapan untuk mengepung benteng tersebut. Jenderal Michiels
memimpin sendiri pengepungan kota Bonjol. Dengan susah payah Kaum Padri
menghadapi kekuatan musuh yang jauh lebih kuat. Pada akhirnya benteng Kaum
Padri jatuh ke tangan Belanda. Tuanku Imam Bonjol beserta sisa-sisa pasukannya
tertawan pada tanggal 25 Oktober 1837. Imam Bonjol lalu dibuang ke Cianjur,
lalu dipindah ke Ambon dan akhirnya dibuang ke Minahasa.
Tertangkapnya Imam Bonjol memang tidak berarti berhentinya
perlawanan-perlawanan, tetapi penyerahan itu cukup melumpuhkan kegiatan kaum
Padri. Secara kecil-kecilan pertempuran masih dilakukan oleh pimpinan kaum
Padri yang lain, yaitu Tuanku Tambose. Namun setelah itu akhirnya patahlah
perlawanan kaum Padri. Semenjak itu Minangkabau diperintah langsung oleh
Belanda.
5.
Perang Aceh
Setelah Perang Padri berakhir, pada tahun 1873 di Sumatera
berkobar lagi perlawanan terhadap Belanda yakni Perang Aceh. Penyebab
terjadinya Perang Aceh terutama karena nafsu Belanda untuk menguasai daerah
ini. Sebelumnya, mereka tidak berani menduduki Aceh karena terikat Traktat
London 1824. Traktar London II itu mewajibakan Belanda menghormati kedaulatan
Aceh. Namun setelah terjadi Traktat Sumatera tahun 1871 sebagai perbaikan
Traktat London II, Belanda bebas meluaskan wilayahnya ke seluruh Sumatera,
termasuk Aceh Sebagaimana dikemukakan oleh
Poesponegoro et al. (2010 :285),
bahwa :
“Kekhawatiran Aceh semakin meningkat ketika pada tahun 1871
Belanda dan Inggris mencapai persetujuan dan menandatangani suatu perjanjian
yang disebut traktat sumatra. Menurut
perjanjian ini orang Belanda diberi kebebasan untuk mengadakan perluasan
kekuasaannya di seluruh Sumatra, termasuk ke Aceh yang selama ini tikak boleh
diganggu kedaulatanya”.
Dengan terjadinya traktat tersebut, Belanda khawatir kalau
Aceh jatuh ke tangan bangsa asing lain seperti Turki, Italia, Perancis atau
Amerika. Sesudah tersiar kabar bahwa Aceh mengadakan hubungan dengan Amerika,
maka pemerintah Belanda mengirimkan Nieuwenhuisen (komisaris Belanda) ke Aceh,
untuk menuntut, supaya Aceh mengakui kekuasaan Belanda. Perundingan-perundingan
yang diadakan tak berhasil. Dari sebab itu Belanda menyatakan perang kepada
Aceh.
Pada tahun 1873 Belanda mengirimkan ekspedisi pertama dengan
3193 prajurit dipimpin oleh Jenderal Kohler. Setelah beberapa lama terjadi
tembak menembak di daerah pantai, pasukan Aceh mengundurkan diri dan berkubu di
sekitar Mesjid Raya. Belanda langsung menyerbu Mesjid Raya dengan
tembakan-tembakan meriam, sehingga mesjid itu terbakar. Pasukan Aceh mundur dan
Mesjid Raya diduduki Belanda. Namun pasukan Aceh berhasil menembak Jenderal
Kohler sehingga tewas, sehingga pimpinan tentara Belanda diambil alih oleh
Kolonel van Dalen dan menarik diri dari Mesjid Raya.
Pasukan Aceh melakukan konsolidasi di sekitar istana Sultan
Mahmudsyah. Pasukan-pasukan itu terus digerakkan untuk melakukan
serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda. Dengan demikian usaha Belanda untuk
menundukkan Aceh dengan serangan terbuka mengalami kegagalan, sehingga Belanda
memilih memblokade Aceh.
Ketika itu muncullah tokoh-tokoh pemimpin seperti Panglima
Polem, Teuku Imam Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik di Tiro, Teuku Umar, dan
istrinya Cut Nya’ Din, dan masih banyak pemimpin Aceh lainnya yang memimpin
perlawanan di daerahnya masing-masing.
Dalam
ekspedisi kedua (1874), digerakkanlah 8000 prajurit Belanda dengan pimpinan
Jenderal J. van Swieten menyerbu Aceh. Sasaran utama adalah istana Sultan
Mahmudsyah. Istana itu berhasil direbut Belanda, lalu dijadikan pusat
pemerintahan Belanda di daerah yang disebut Kotaraja. Belanda lalu
memproklamasikan bahwa Aceh sudah berada di bawah kekuasaan Belanda.
Sementara itu Sultan Mahmudsyah meninggal, dan baru 10 tahun
kemudian diganti oleh anaknya, Sultan Muhammad Daudsyah. Ia memerintah dibantu
oleh dewan Mangkubumi, dan pusat pemerintahannya berada di daerah pengungsian,
serta berpindah-pindah untuk menghindari penyergapan Belanda. Walaupun
perlawanan panglima-panglima dan hulubalang-hulubalang lebih kuat dari sangkaan
Belanda, tetapi tentara Belanda yang dipersenjatai lebih lengkap, di bawah
pimpinan Jenderal van der Heyden (Jenderal Buta), akhirnya dapat menguasai Aceh
Besar (1879) . Pemerintah Belanda menyangka bahwa dengan peristiwa ini perang
Aceh benar-benar berakhir. Dari sebab itu pemerintrahan militer diganti dengan
pemerintahan sipil. Perhitungan itu salah. Sebab tak lama kemudian perlawanan
menghebat kembali, sehingga terpaksa pemerintah sipil diganti dengan pemerintah
militer.
Untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh, pemerintah Belanda
memisahkan daerah Aceh sebelah utara dari Aceh sebelah selatan, sedangkan
pantai laut dijaga oleh angkatan laut Belanda. Siasat ini disebut
konsentrasistelsel, yaitu daerah yang dikuasai Belanda dimakmurkan agar
orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan senjata dan kembali ke
daerah yang aman dan makmur itu. Dalam perkembangannya, siasat tersebut gagal,
sebab pagar kawat berduri sebagai daerah pembatas tersebut sering dirusak kaum
gerilya dan penjaganya mati terbunuh. Sementara itu Teuku Umar yang sudah
menyerah kepada Belanda (1893) pada tahun 1896 kembali melawan Belanda setelah
berhasil membawa banyak senjata Belanda. Dalam kondisi sulit ini muncullah
seorang ahli bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam Dr. Snouk Hurgronye sebagai
penasehat dalam urusan pemerintahan sipil. Ia mempelajari bahasa, adad
istiadat, kepercayaan dan waktu orang-orang Aceh. Dari hasil penelitiannya
akhirnya dapat diketahui bahwa sebenarnya Sultan Aceh itu tidak mempunyai
kekuatan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala yang ada di bawahnya.
Selain itu juga dijelaskan bahwa pengaruh kaum ulama pada rakyat adalah sangat
besar. Karena itu dirasa sulit untuk menundukkan rakyat yang berkeyakinan agama
yang kuat sepeti rakyat Aceh itu.
Berdasarkan hasil penelitian itu, lalu dilakukan
langkah-langkah yang jitu, yaitu dengan menggunakan taktik memecah belah
kekuatan yang ada di kalangan rakyat Aceh. Kaum ulama yang memimpin pertempuran
harus dihadapi dengan kekuatan senjata, sedangkan para bangsawan dibuka
kesempatan untuk masuk ke dalam kelompok pamongpraja di lingkungan pemerintah
Belanda. Untuk menghadapi kaum ulama, Belanda melakukan serangan habis-habisan.
Jenderal van Heutz membentuk pasukan marsose (istimewa) untuk mengejar tentara
Aceh sampai tertangkap atau terbunuh. Sewaktu menyerbu kedudukan Belanda di
Meulaboh (1899), Teuku Umar gugur. Sebagaimana
dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010
:300), bahwa : “Pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda menyerang markas
pertahanan Teuku Umar dan Gugurlah pemimpin Aceh...”.
Panglima Polem terus melakukan perlawanan di daerah bagian
timur. Pihak Belanda terus berusaha untuk menangkapnya tetapi sulit. Oleh
karena itu pihak Belanda menggunakan taktik baru, yakni dengan mengadakan
penculikan isteri Sultan. Dengan mengadakan tekanan-tekanan yang keras akhirnya
Sultan Muhhamad Dawud menyerah kepada Belanda tahun 1903.
Dalam upayanya untuk menangkap Panglima Polem, Belanda juga
menggunakan siasat menangkap isteri, ibu dan anak-anak Panglima Polem sambil
menekan terus menerus terhadapnya. Setelah mengalami tekanan yang berat, maka
akhirnya Panglima Polem menyerah pada tahun 1903 pula. Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :306), bahwa : “...panglima Polem dengan sisa
pasukannya yang berjumlah 150 orang terpaksa menyerah kepada belanda pada
tanggal 6 September 1903”
Dengan hilangnya pemimpin-pemimpin yang tangguh itu, maka
perlawanan rakyat Aceh makin kendor, dan di lain pihak Belanda dapat memperkuat
kekuasaannya di daerah itu. Sekalipun demikian perlawanan rakyat Aceh boleh
dikatakanmerupakan perlawanan yang paling lama dan yang paling besar selama
abad ke-19. Dalam rangka untuk memastikan kemerosotan perlawanan Aceh, pada
tahun 1904 Jenderal van Daalen melakukan ekspedisi lintas pedalaman, khususnya
antara Gayo dan Alas. Dalam ekspedisi tersebut pasukannya memang tidak
mendapatkan perlawanan suatu apa sehingga pada tahun 1904 itu pula perlawanan
Aceh dinyatakan berakhir. Namun perlawanan masih berlangsung terus, secara
perseorangan maupun dalam kelompok; hanya semakin lama semakin terpencil
sifatnya.
Setelah perlawanan Aceh berakhir, maka daerah Aceh
dibagibagi dalam swapraja-swapraja. Mereka diikat oleh pemerintah Belanda
dengan jalan menandatangi pelakat pendek, suatu perjanjian yang menerangkan
dengan singkat:
(1) Tiap-tiap swapraja
harus mengakui kekuasaan pemerintah Belanda.
(2) Suatu swapraja tidak
boleh mengadakan hubungan dengan pemerintah asing lainnya.
(3) Perintah pemerintah
Belanda harus dijalankan.
Walaupun perlawanan rakyat Aceh sudah berakhir, di Sumatera
masih ada perlawanan-perlawanan yang lain yaitu perlawanan rakyat Batak yang
dipimpin Si Singamangaraja XII (1878-1907), perlawanan di Sumatera Selatan
dipimpin oleh Raden Intan serta daerah-daerah lainnya yang dipimpin oleh
pemimpin setempat.
Di atas telah digambarkan bagaimana daerah-daerah di
Indonesia satu persatu jatuh ke tangan Belanda. Dengan berbagai cara, rakyat
Indonesia di berbagai daerah berusaha terus untuk bertahan. Bila semua
raja-raja di Indonesia memiliki armada-armada niaga yang besar, maka setelah
kerajaannya ditundukkan oleh Belanda, maka armada-armadanya segera ditumpas
oleh Belanda.
Di samping itu, peraturan Belanda yang monopolitis
mengakibatkan terdesaknya ke sudut kebebasan perdagangan rakyat Indonesia.
Karena berjuang untuk kelangsungan hidupnya, rakyat yang hidup di pantai-pantai
selalu berusaha menerobos monopoli Belanda. Tindakan seperti itu oleh Belanda
disebut perdagangan gelap atau penyelundup. Namun demikian, tindakan-tindakan
rakyat Indonesia tersebut jelas merupakan bentuk perlawanan yang tak
henti-hentinya terhadap imperialisme Barat.
6.
Perang Bali
Nama Bali dikenal dalam sejarah Indonesia mulai zaman
Erlangga maupun Majapahit (Gajah Mada) . Hubungan antara Bali dan Jawa erat
sekali. Pada zaman Majapahit banyak penduduk kerajaan ini yang pindah ke Bali.
Dengan bangga mereka menamakan dirinya wong Majapahit untuk membedakan diri dari
penduduk Bali asli yang masih terdapat di pegunungan dan dikenal sebagai
Bali-aga (orang Bali asli) .
Pemerintahan di Bali, akhirnya mengangkat dirinya menjadi
raja dengan gelar Dewa Agung Ketut dan bersemayam di Gelgel. Pada abad ke-17
ibukota pindah ke Klungkung, tetapi kemudian pecah menjadi Sembilan kerajaan di
antaranya yang terkenal adalah Klungkung, Gianyar, Badung, Karangasem, dan
Buleleng.
Salah satu hak yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan di Bali
di daerah pantai ialah hak untuk menjalankan hukum tawan karang. Menurut hukum
itu, raja Bali berhak untuk merampas muatan kapal yang terdampar di pantai
wilayah kerajaannya. Sewaktu Belanda berada di Indonesia, Bali masih merupakan
kerajaan-kerajaan merdeka. sebagaimana
dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010
:249), bahwa : “...di Bali berlakunya hukum tawan karang, yaitu hak dari Bali
untuk merampas perahu perahu yang terdampardi pantai wilayah kekuasaannya.
Hukum tawan karang ini telah menimpa kapal-kapal Belanda seperti yang dialami
pada tahun 1841 di pantai wilayah Badung”. Belanda juga melakukan perdagangan (terutama
perdagangan budak) dengan kerajaan-kerajaan Bali.
Dalam perdagangannya itu, telah berulang kali kapal Belanda
terdampar di salah satu pantai dari kerajaan Bali dan muatannya dirampas oleh
raja. Belanda telah mengajukan protes dan mengadakan perjanjian-perjanjian yang
menyangkut pembebasan kapal-kapal Belanda. Tetapi raja-raja Bali sering tidak
pernah mengindahkannya.
Di antara raja-raja Bali yang pernah diajak untuk mengadakan
perjanjian pada tahun 1841 itu ialah raja-raja Klungkung, Buleleng, Badung dan
Karangasem. Dalam perjanjian itu sesungguhnya raja Bali telah dipaksa untuk
mengakui kedaulatan pemerintah Belanda, dan
mengijinkan
pengibaran bendera Belanda di kerajaannya. Tetapi kesemuanya itu tidak
dilaksanakan oleh raja-raja Bali karena mereka dipaksa. sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :250), bahwa : ”...1843 raja-raja Buleleng,
Karangasem, dan beberapa raja lainnya telah menandatangani perjanjian
penghapusan tawan karang, ternyata mereka tidak pernah melaksanakannya dengan
sungguh-sungguh”.
Karena merasa diingkari, maka Belanda memutuskan untuk
menggunakan kekerasan dalam usaha untuk menundukkan raja-raja Bali tersebut.
Pada tahun 1846 Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke daerah Buleleng.
Karena itu Gusti Ketut Jelantik
menyiapkan
pasukan untuk menghadapi kedatangan Belanda. Sebelum melakukan serangan,
Belanda mengeluarkan ultimatum yang isinya agar Buleleng :
(1)
mengakui kekuasaan Belanda,
(2)
hak tawan karang harus dihapus,
(3)
memberi perlindungan kepada perdagangan Belanda.
Karena ultimatum Belanda tak diindahkan, akhirnya Belanda
menyerbu Buleleng. Sementara itu Karangasem memihak Buleleng, sehingga berkobar
perang Belanda-Bali.
Dalam mnghadapi perlawanan rakyat Bali, Belanda terpaksa
mengerahkan ekspedisi secara besar-besaran sebanyak tiga kali. Ekspedisi
pertama dilakukan tahun 1836 dengan kekuatan 1700 tentara. Serangan pertama ini
Belanda gagal menundukkan rakyat Bali. Belanda
mengajak
berunding, tetapi ternyata hanya taktik untuk melakukan penyerbuan kembali.
Sementara itu pasukan Bali di bawah Gusti Jelantik membangun
benteng di Jagaraga dan mulai menyerang Belanda. Karena serangan tersebut,
Belanda lalu melakukan ekspedisi kedua tahun 1848. Pertempuran berkobar hebat
di benteng tersebut. Dalam pertempuran itu Belanda kehilangan 5 perwiranya dan
75 prajuritnya. Namun benteng Jagaraga gagal dikuasai. Setelah bala bantuan
datang dari Jakarta, Belanda kembali menyerang. Namun serangan ke benteng
Jagaraga dapat ditangkis. Pada tahun 1849 Belanda melakukan ekspedisi yang
ketiga dengan kekuatan lebih dari empat ribu prajurit dengan tiga ribu pasukan
tenaga pengangkut. Pasukan besar-besaran tersebut disambut dengan tiga ribu
prajurit Bali dengan senjata tradisional. Sedangkan pasukan tambahan ada 10-20
ribu orang dari Buleleng dan Karangasem. Pertempuran meletus di sekitar benteng
Jagaraga. Benteng tersebut dijaga sekitar 15 prajurit.
Pertempuran berlangsung beberapa hari sehingga kedua belah
pihak mengalami kelelahan. Karena kalah dalam persenjataan, pasukan Bali
mengundurkan diri dari benteng Jagaraga. Dengan demikian benteng tersebut jatuh
ke tangan Belanda. Sejak itu perlawanan pindah ke daerah Karangasem dan
Klungkung dengan pimpinan Gusti Jelantik. Perlawanan baru mengendor akhir abad
ke-19, setelah sebagian besar kerajaan Bali ditaklukkan Belanda.
Pada tahun 1904 sebuah kapal dagang Cina terdampar di pantai
timur Badung. Kapal tersebut dirampas oleh penduduk di situ. Cina lalu lapor
kepada Belanda. Kerajaan Badung dipersalahkan oleh Gubernemen dan disuruh
membayar denda. Perintah itu ditolak oleh
raja
Badung. Sikap raja Badung itu didukung oleh raja-raja Bali, sehingga pecah
perang Bali-Belanda. Belanda berhasil merebut ibukota Denpasar. Akibatnya
raja-raja Bali melakukan puputan yaitu melawan habishabisan dengan diikuti
sanak-saudaranya, para bangsawan lainnya dan kaum putri, bersenjata tombak dan
keris keramat. Mereka memilih gugur di medan perang dari pada menyerah kepada
Belanda. Pada tahun 1908 kerajaan Klungkung diserang Belanda. Raja Klungkung
dibantu oleh seluruh kaum bangsawan, wanita dan anak-anak mengadakan puputan
sewaktu diserang Belanda itu, lantaran tidak mau tunduk kepada
peraturan-peraturan yang diadakan oleh pemerintah Belanda. Sesudah Klungkung
diduduki maka berarti seluruh Bali dikuasai oleh pemerintah Belanda.
7.
Perang Banjarmasin
Selain di Pulau Jawa dan Sumatra,
pemerintahan colonial Belanda juga berupaya menguasai Pulau Kalimantan. Pada
tahun 1817 Belanda mulai masuk ke wilayah Banjar, Kalimantan Selatan. Bahkan,
pada tahun 1826 Belanda mengadakan perjanjian dengan Sultan Adam, raja Kerajaan
Banjar. Isi perjanjian ini menyatakan bahwa seluruh wilayah Kalimantan Selatan
adalah kekuasaan Belanda, kecuali Banjarmasin, Martapura, dan Hulu Sungai.
Ketika daerah ini berada di wilayah kekuasaan Sultan Adam dari kesultanan
Banjar. Selain itu, Belanda berhak menentukan siapa yang akan menjadi sultan
muda, putra mahkota, dan mangkubumi.
Ketika
sultan Adam wafat pada tahun 1857 terjadilah perebutan kekuasaan di keratin.
Belanda berdiri di belakang kekacauan ini mengangkat Pangeran Tamjid Illah
sebagai sultan kerajaan Banjarmasin, sedangkan rakyat menghendaki Pangeran
Hidayat. Akhirnya, Pangeran Tamjid Illah III menjadi sultam, sedangkan Pangeran
Hidayat menjadi mangkubuminya. Kedua tokoh ini tidak bias bekerja sama.
Akibatnya, timbul keresahan di kalangan rakyat dan kaum bangsawan Banjar.
Menyadari adanya keresahan ini, Belanda mengambil alih kekuasaan dari Pangeran
Tamjid Illah . tindakan belanda ini menimbulkan kemarahan pada rakyat.
Selanjutnya, pada tahun 1859 rakyat banjar di bawah pimpinan Pangeran Antasari
menyerang pertahanan Belanda di Martapura dan Pengaron. Perlawanan lainnya
dipimpin oleh kyai Demang Lehmanm Haji Nasrun, Haji Buyasin, kyai Langlang dan
tumenggung Surapati, serta pangeran Hidayat. Mereka berhasil merebut benteng
Belanda, seperti Benteng Tabanio, bahkan menenggelamkan kapal Onrust di sungai
Barito.
Untuk
mengatur strategi baru, Belanda menawarkan untuk berunding dengan Pangeran
Hidayat, tetapi ditolak. Karena putus asa, sehingga Belanda menghapuskan
kerajaan Banjar pada bulan Juni 1860. Sejak itu, daerah tersebut daerah
tersebut diperintah langsung oleh Belanda. Tekanan Belanda yang sangat kuat
menyebabkan perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Hidayat ini dapat dikalahkan
karena kurang persenjataan. Pada tahun 1862 Pangeran Hidayat ditangkap dan
diasaingkan ke kota Cianjur, Jawa Barat. Namun demikian, perlawanan rakyat
Banjar semakin gencar saja, apalagi setelah pangeran Antasari(1862), saudara
sepupu pangeran Hidayat diangkat sebagai pemimpin tertinggi agama islam di
Banjar dengan gelar Panembahan Amirudin Khalifatul Mukminin.
Beberapa
saat kemudian, setelah ia diangkat menjadi sultan, perang meletus lagi. Dalam
perang ini Pangeran Antasari menderita luka-luka dan akhirnya wafat pada tahun
1862. Perlawanan rakyat Banjar dilanjutkan oleh putra-putranya dan pejuang
lainnya. Namun, sejak tahun 1864 ketika para pemimpin perlawanan Banjar
berhasil ditangkap satu persatu, perlawanan rakyat Banjar mulai melemah.
Akhirnya, Banjar sepenuhnyadapat dikuasai oleh Belanda.
C. Kaitannya dengan Indonesia
kontemporer.
Kaitan
antara masa kolonialisme Belanda dengan Indonesia kontemporer.
a.
Pada masa kolonialisme belanda,
kebiasaan minum-minuman keras beredar di kalangan kaum bangsawan atau rakyat
umum dan dimasa kini pun kebiasaan minum-minuman keras semakin beredar di
kalangan masyarakat.
b. “Di era penjajahan, Belanda
melakukan pemisahan akses pendidikan bagi orang-orang Belanda di Indonesia,
kaum bangsawan dan rakyat biasa ”. (Fajar, :2). Di masa sekarang ada yang
namanya sekolah SBI, di sekolah itu hanya anak-anak dari orang-orang yang
mempunyai kedudukan/ memiliki uang yang bisa masuk/ mengenyam pendidikan di
sekolah tersebut, sedangkan kalangan biasa sulit sekali untuk masuk ke sekolah
tersebut. Itu artinya ada pemisahan akses pendidikan di masa sekarang pun.
c.
“Generasi Indonesia yang memiliki
potensi intelektual dan kepemimpinan banyak yang bahkan dikirim studi ke
Belanda sebagai pusat (centre) kemajuan dengan tujuan menjadi agen
‘pemBelandaan’ Indonesia” (Fajar, :2). Di masa sekarang banyak orang
Indonesia yang memiliki Intelektual terus mereka di sekolahkan di luar negeri,
dan akhirnya orang indonesia itu malah banyak di rekrut oleh orang-orang luar.
d. Novel-novel Balai Pustaka seperti
Siti Nurbaya, juga mengambarkan dialektikan penjajah dan terjajah di era ketika
orang-orang Belanda tinggal dalam waktu lama di Indonesia.
e. Pada waktu residen dan patih
menyuruh menyambung jalan dari kota ke Tegalrejo (Jalan Notoyudan) yang akan
melalui tempat yang dianggap keramat oleh Diponegoro, maka Diponegoro
menentangnya. Di zaman sekarang pun ada
pristiwa yang sama seperti pristiwa didaerah Makam mbah priuk.
BAB III
KESIMPULAN
Sampai dengan abad 18 penetrasi
kekuasaan belanda semakin besar dan meluas, bukan hanya dalam bidang ekonomi
dan politik saja namun juga meluas ke bidang-bidang lainnya seperti kebudayaan
dan agama. Penetrasi dan dominasi yang semakin besar dan meluas terhadap
kehidupan bangsa Indonesia menyebabkan terjadinya berbagai peristiwa perlawanan
dan perang melawan penindasan dan penjajahan bangsa Eropa. Tindakan
sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa
telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan bangsa Indonesia. Menghadapi
tindakan penindasan itu, rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat
gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC.
Perlawanan yang dilakukan
bangsa Indonesia tersebut di bagi ke dalam dua periode, yaitu perlawanan
sebelum tahun 1800 dan perlawanan sesudah tahun 1800. Pembagian waktu tersebut
dilakukan untuk memudahkan pemahaman mengenai sejarah perlawanan bangsa
Indonesia terhadap bangsa-bangsa Barat tersebut. Perlawanan sebelum tahun 1800,
yaitu : Perlawanan Rakyat Mataram, Perlawanan Rakyat Banten, Perlawanan Rakyat
Makasar, Pemberontakan Untung Surapati. Sedangkan perlawanan sesudah tahun
1800, yaitu : Perlawanan Sultan Nuku(Tidore), Perlawanan Patimura, Perang
Paderi, Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Bali, Perang Banjarmasin.
Di atas telah digambarkan bagaimana daerah-daerah di
Indonesia satu persatu jatuh ke tangan Belanda. Dengan berbagai cara, rakyat
Indonesia di berbagai daerah berusaha terus untuk bertahan. Bila semua
raja-raja di Indonesia memiliki armada-armada niaga yang besar, maka setelah
kerajaannya ditundukkan oleh Belanda, maka armada-armadanya segera ditumpas
oleh Belanda. Di samping itu, peraturan Belanda yang monopolitis mengakibatkan
terdesaknya ke sudut kebebasan perdagangan rakyat Indonesia. Karena berjuang
untuk kelangsungan hidupnya, rakyat yang hidup di pantai-pantai selalu berusaha
menerobos monopoli Belanda. Tindakan seperti itu oleh Belanda disebut perdagangan
gelap atau penyelundup. Namun demikian, tindakan-tindakan rakyat Indonesia
tersebut jelas merupakan bentuk perlawanan yang tak henti-hentinya terhadap
imperialisme Barat.
DAFTAR
PUSTAKA
Kardiyat, A, Perlawanan
Indonesia Terhadap Belanda Pada Abad XIX
Khoo,
Gilbert, Sejarah Asia Tenggara Sejak
Tahun 1500. Kualalumpur, Fajar Bakti SDN.
BHD, 1976.
Moeis, S(2012).”PERKEMBANGAN AGAMA DAN RELIGI DI INDONESIA”.
Makalah Disajikan dalam diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI ,Bandung
Sartono Kartodirdjo, Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium ke
Imperium, Jakarta, Gramedia, 1987.
Supriatna,
Nana, Perkembangan Masyarakat Indonesia.
Poesponegoro et al.(2010).
Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta:
Balai Pustaka
--------------------, Ilmu Pengetahuan Social Jilid 2 B.
Bandung, PT Sarana Pancakarya Karya Nusantara
----------------------,
Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional dari
Kolonialisme Sampai Nasionalisme,
Jilid 2, Jakarta,
Gramedia, 1990.
----------------------, Konsep
Dasar IPS, Bandung, CV Yasindo Multi Aspek, 2008
----------------------, kehidupan pada masa pra-indonesia :zaman
pergerakan, Bandung, PT Setia Purna Inves, 2009
---------------------, masa prasejarah sampai masa proklamasi
kemerdekaan, Jakarta, PT Mitra Aksara Panaita, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar