Pada
1834, berkat VOC dan para missionaries berdiri sekolah pendidikan guru
(kweekschool) Nusantara. Pendidikan guru ini mula-mula diselenggarakan
di Ambon pada 1834. Sekolah ini berlangsung sampai 30 tahun (1864) dan
dapat memenuhi kebutuhan guru pribumi bagi sekolah-sekolah yang ada
pada waktu itu. Sekolah serupa diselenggarakan oleh zending di Minahasa
pada 1852 dan 1855 dibuka satu lagi di Tanahwangko (Minahasa). Bahasa
pengantar yang digunakan sekolah di Ambon dan Minahasa adalah bahasa
Melayu. Sebagai kelanjutan dari Keputusan Raja, tanggal 30 September
1848, tentang pembukaan sekolah dasar negeri maka untuk memenuhi
kebutuhan guru pada sekolah-sekolah dasar tersebut dibuka sekolah
pendidikan guru negeri pertamama di Nusantara pada 1852 di Surakarta
didasarkan atas keputusan pemerintah tanggal 30 Agustus 1851. Pada
waktu sebelumnya, Pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru
yang diberi nama Normaal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan
guru Sekolah Desa. Sekolah guru di Surakarta ini murid-muridnya diambil
dari kalangan priyayi Jawa. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa dan
melayu. Sekolah ini pada 1875 dipindahkan dari Surakarta ke Magelang.
Setelah pendirian Sekolah guru di Surakarta berturut-turut didirikan
sekolah sejenis di Bukitinngi (Fort de Kock) pada 1856, Tanah Baru,
tapanuli pada 1864, yang kemudian ditutup pada 1874, Tondano pada 1873,
Ambon pada 1874, Probolinggo pada 1875, Banjarmasin pada 1875,
Makassar pada 1876, dan Padang Sidempuan pada 1879. jenis sekolah ini
mengalami pasang surut karena adanya perubahan kebijaksanaan pemerintah
dalam bidang pendidikan sehingga beberapa sekolah ditutup dengan
alasan penghematan keuangan negara. Kweekscool yang ditutup terletak di
Magelang dan Tondano pada 1875, Padang Sidempuan (1891), Banjarmasin
(1893), dan Makassar (1895). Penutupan sekolah ini akibat dari malaise.
Di Kweekschool, bahasa Belanda mulai diajarkan pada 1865, dan pada
1871 bahasa tersebut merupakan bahasa wajib, tetapi pada 18885 dan pada
1871 bahasa tersebut tidak lagi merupakan bahasa wajib. Pada dasawarsa
kedua abad ke-20, bahasa Belanda bukan lagi hanya bahasa wajib
melainkan menjadi bahasa pengantar. Pemerintah Hindia Belanda tidak
banyak campur tangan terhadap pendidikan guru bagi golongan Eropa, dan
diserahkannya kepada swasta. Pada akhir abad ke-19 pemerintah hanya
menyelenggarakan kursus-kursus malam di Batavia (1871) dan Surabaya
(1891). Oleh pihak Katolik didirikan kursus-kursus di Batavia,
Semarang, dan Surabaya (1890).
· Kesulitan-kesulitan penyelengaraan sekolah-sekolah bumi putera.
Untuk melaksanakan putusan tahun 1884 itu, pemerintahan kolonial menghadapi dua macam kesulitan yaitu:
1. Kesulitan mengenai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumi putera yang didirikan di tiap-tiap ibukota keresidenan.
2. Kekurangan tenaga guru.
Akirnya
diputuskan, bahwa bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumi putera itu
adalah syarat utama untuk berhasilnya sekolah-sekolah bumi putera itu
adalah pembentukan golongan guru-guru Indonesia yang mendapatkan
pendidikan baik. Maka sebagai usaha pertama untuk mengatasi kekurangan
tenaga guru di bukalah pada bulan april 1852 Kweeleschoci (sekolah
guru) pertama di Surakarta. Di sekolah ini murid-muridnya pun terbatas
pada anak-anak golongan bangsawan saja. Kelak menyusul sekolah-sekolah
guru di kota-kota lainya.
· Penyelengaraan sekolah bumi putera
Bangunan sekolah
Di
pulau jawa bangunan-bangunan sekolah bumi putera didirikan oleh
pemerintah. Biasanya mengambil tempat di halaman kabupaten. Meskipun
masih sederhana, tetapi pada umumnya bangunan-bangunannya terpelihara,
karenanya para bupati turut memperhatikan.
Di
luar pulau jawa keadaanya tidak memuaskan. Sejak dahulu urusan sekolah
itu dibebankan kepada rakyat,tidak mendapat bantuan dari pemerintah
pusat. Beberapa tempat memakai bangunan sekolah, yang mirip sekali
dengan sebuah gubuk yang disusun dari dahan-dahan dan kulit kayu.
Penyusunan kelas.
Mula-mula
murid duduk di tanah. Jadi bangku-bangku tidak ada sama sekali. Hal
ini disesuaikan dengan adat pada ketika itu yang menentukan, bahwa
orang rendahan harus duduk di tanah bila berhadapan dengan atasan(adat
feudal).
Pembagian
kelas tidak dikenal pada abad ke-19. Semua murid disatukan dalam
ruangan besar. Menurut tingkatan kepandaiannya mereka di bagi-bagi
dalam beberapa kelompok.
Isi rencana pelajaran
Isi
rencana pelajaran terutama sekali di sesuaikann keharusan sekolah
untuk mendidik calon-calon pegawai. Karena praktek menuntut dari
pegawai, bumiputera penguasaan bahasa melayu, yang ketika itu dipakai
sebagai bahasa resmi, maka disekolah disamping bahasa daerah diberikan
juga bahasa melayu. Yang jelas menunjukkan sifatnya mendidik
calon-calon pegawai ialah diberikannya mata pelajaran mengukur tanah.
Ini dihubungkan dengan pelaksanaan tanam paksa, pada waktu menetapkan
luas sawah masing-masing yang harus ditanami dengan tanaman-tanaman
untuk pemerintah.
Pada
semua mata pelajaran tampak adanya penyesuaian dengan keperluan dan
kebutuhan kantor-kantor pemerintah. Anak-anak banyak diberi latihan
mengambar peta lapangan. Berhitung soal-soal mengenai pajak tanah,
administrasi gudang-gudang garam dan kopi, membuat macam-macam daftar,
tanda bukti, yang sederhana dan sebagainya. Ilmu pertemuan tujuanya
tentu bukan untuk memajukan pertanian rakyat, tetapi hanya menambah
pengetahuan yang sekiranya berguna bagi pegawai.
Murid-muridnya
Sesuai
dengan tujuan sekolah yakni terutama sekali mendidik calon-calon
pegawai murahan, maka murid-muridnya tidak diambil dari rakyat petani
biasa melainkan dari golongan priyayi, anak-anak pegawai, seperti:
anak-anak bupati, wedana, juru tulis, mantri atau kepala desa. Dengan
mendidik anak-anak dari golongan priyayi itu dikandung pula maksud, agar
rakyat yang taat kepada kaum priyayi lebih mudah dipengaruhi,ini
terjadi dipulau jawa.
Diluar
pulau jawa keadaanya berbeda, di daerah minang kabau umpamanya,
sekolah-sekolah bumi putera itu dapat juga dikunjungi oleh anak-anak
pedagang dan petani. Murid-muridnya sebahagian besar terdiri dari
anak-anak laki-laki,jumlah murid perempuan sangat sedikit. Adapun
sebab-sebabnya yaitu:
1. Karena sifat dan tujuan sekolah.
2. Karena rakyat, yang masih bersifat kolot, berkeberatan terhadap adanya koedukasi.
Pada
akhir 1877 sekolah-sekolah bumi putera di pulau jawa, di samping
12.498 murid laki-laki, hanya mempunyai 25 orang murid perempuan.
Lama belajar
Hal
ini tidak ditentukan dengan pasti, murid-murid belajar sekehendak
hatinya dan selama guru menggangap belum cukup pengetahuannya, ada yang
dua tahun, dan adapula yang enam tahun. Lama belajar yang pasti baru
ditentukan pada tahun 1893, tiga tahun untuk sekolah-sekolah kelas dua
dan lima tahun untuk sekolah-sekolah kelas satu.
Wang sekolah
Wang
sekolah dipulau jawa tidak sama dengan di luar pulau jawa, di luar
pulau jawa ditetapkan enam tingkat pembayaran, paling tinggi F3,
sebulan dan paling rendah 50 sen. Diluar pulau jawa wang sekolah tidak
dipunggut, tetapi sebagai pengantinya, rakyat diberi tugas untuk
mendirikan dan memilihara sekolah, serta membuat alat-alatnya tanpa
diberi upah.
Tenaga guru
Tingkatan
pengetahuan guru-guru dipulau jawapada umumnya mencukupi, kweekschool
di Surakarta, kelak diikuti oleh yang lainnya menghasilkan guru-guru
yang memiliki pengetahuan dan kecakapan yang layak. Pada pemulaan
sekali, ketika kweekschool belum menghasilkan guru-guru, maka yang
diangkat menjadi guru-guru adalah sembarang orang saja, ada bekas
mantra gudang, jurutulis, mantra gudang kopi, dan sebagainya yang hanya
dapat membaca,menulis dan berhitung.
Diluar
pulau jawa keadaan itu lebih menyedihkan lagi, suatu hal yang
berpengaruh buruk pada pengajaran bumiputera adalah kelas-kelas yang
terlalu besar, contoh: di ceram seorang guru harus memberi pelajaran
kepada tidak kurang dari 285 orang murid.
Daftar Pustaka
2. Nugroho notosusanto,sejarah nasional indonesia, balai pustaka,2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar